Aerodinamika dan Kinerja Terbang Pesawat Blended Wing Body – Unmanned Aerial Vehicle (BWB-UAV)

29 Dec 2016 10:44 9176 Hits 0 Comments Approved by Brain Gain
Tantangan dalam operasi pengawasan melalui udara dengan menggunakan pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) adalah apabila daerah yang harus diawasi berada di kawasan yang jauh terpencil dan dengan cakupan area yang lu

Disclaimer:
Makalah ini ditulis berdua oleh Wirachman Wisnoe dan Rizal E. M. Nasir

ABSTRAK

Tantangan dalam operasi pengawasan melalui udara dengan menggunakan pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) adalah apabila daerah yang harus diawasi berada di kawasan yang jauh terpencil dan dengan cakupan area yang luas. Untuk itu diperlukan suatu pesawat UAV yang boleh terbang cepat mencapai tujuan, kemudian melakukan pengawasan dengan kecepatan yang rendah. Pesawat harus mempunyai tingkat ketahanan (endurance) yang cukup lama agar semua area di kawasan berkenaan dapat terawasi. Pesawat Blended Wing Body (BWB) merupakan salah satu jenis pesawat yang bisa memenuhi kriteria tersebut. Berbeda dengan bentuk pesawat biasa, pesawat ini memiliki badan (fuselage) dan sayap (wing) yang bercampur (blended) dimana kedua-duanya memberikan gaya angkat (lift). Bentuk aerodinamika dari pesawat membuat gaya hambat menjadi cukup kecil. Kedua besaran ini menjadikan perbandingan gaya angkat terhadap gaya hambat (lift-to-drag ratio) cukup besar sehingga memberikan efisiensi aerodinamika yang cukup tinggi yang berarti mengkonsumsi energi yang rendah untuk dapat terbang jauh dan lama. Dalam paper ini akan dibentangkan aerodinamika dan kinerja terbang dari empat pesawat BWB-UAV yang sedang dikembangkan di Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia, yaitu: BWB Baseline I, Baseline II, Baseline III dan Baseline IV. Koefisien gaya angkat dan gaya hambat ditampilkan untuk memberi perbandingan akan kemampuan aerodinamika dari setiap pesawat. Kinerja terbang dari setiap pesawat dihitung dan dibandingkan untuk kondisi dan konfigurasi terbang yang sama.

Kata kunci: Blended Wing Body, Unmanned Aerial Vehicle, aerodinamika, kinerja terbang

__________________________________________________________________________

  1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang sangat luas dengan luas wilayah laut sektar 3 juta km2 [1]. Untuk menjaga kedaulatannya Indonesia memerlukan armada pengawasan yang sangat kuat baik di darat, di laut, maupun di udara. Pengawasan melalui udara (aerial surveillance) memiliki keuntungan bahwa jarak pandang menjadi lebih jauh. Berbagai perkara memerlukan pengawasan dari udara, seperti perbatasan dengan negara tetangga, pengawasan perkebunan, kebakaran hutan, pengawasan jaringan listrik tegangan tinggi, dll. Penggunaan pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk melakukan pengawasan ini sangat membantu operasional secara keseluruhan. Pesawat boleh melakukan operasi sewaktu-waktu apabila diperlukan tanpa melibatkan banyak persiapan dan orang. Tantangan yang ada adalah apabila daerah pengawasan berada di kawasan yang jauh terpencil dan dengan area yang luas. Untuk hal ini diperlukan suatu pesawat UAV yang boleh terbang cepat untuk mencapai tujuan, kemudian terbang lambat dalam melakukan pengawasan udara. Pesawat ini harus mempunyai tingkat ketahanan (endurance) yang cukup lama agar semua area di kawasan berkenaan dapat terawasi.

Pesawat Blended Wing Body (BWB) merupakan salah satu jenis pesawat yang mampu memenuhi kriteria tersebut. Berbeda dengan bentuk pesawat biasa, pesawat ini memiliki badan (fuselage) dan sayap (wing) yang bercampur (blended) dimana kedua-duanya memberikan gaya angkat (lift) [2]. Bentuk aerodinamika dari pesawat membuat gaya hambat menjadi cukup kecil. Kedua besaran ini menjadikan perbandingan gaya angkat terhadap gaya hambat (lift-to-drag ratio) cukup besar. Hal ini membuat pesawat BWB secara aerodinamika menjadi sangat efisien, yang berarti rendah dalam mengkonsumsi energi sehingga dapat terbang jauh dan lama [3].

Pada saat banyak kajian berfokus pada pesawat-pesawat BWB untuk keperluan airline [4, 5] atau pesawat jet BWB untuk keperluan bisnis [6], Pusat Pengujian dan Teknologi Terbang atau Flight Technology and Test Centre (FTTC) di Universiti Teknologi MARA (UiTM) lebih memberi tumpuan kepada penggunaan teknologi "blended wing body" untuk pesawat-pesawat kecil tanpa awak. Pada saat ini ada 4 empat pesawat BWB-UAV yang tengah dikembangkan di FTTC-UiTM sejak tahun 2005.

BWB Baseline I merupakan pesawat pertama yang dikaji (Gambar-1(a)). Pada mulanya pesawat ini dirancang untuk mempunyai rentang sayap 4 m, dilengkapi dengan sepasang micro turbojet, dengan kecepatan terbang yang bervariasi mulai dari kecepatan subsonik Mach 0.1 hingga Mach 0.3, dan dengan berat maksimum saat tinggal landas atau maximum take of weight (MTOW) lebih dari 100 kg [7-9]. Desain ini kemudian ditinggalkan karena tingkat stabilitas terbang dan karakteristik aerodinamis yang rendah. Kemudian pesawat BWB Baseline II dikembangkan dengan bentuk yang lebih halus (Gambar-1(b)). Baseline II mempunyai rentang sayap yang sama dengan Baseline I tetapi dengan berat dan dan keperluan gaya dorong yang lebih kecil, yang lebih sesuai untuk keperluan operasi dengan kelajuan subsonik yang rendah serta memiliki efisiensi aerodinamika yang tinggi [10-12]. Dalam perkembangannya, ukuran Baseline II kemudian diperkecil menjadi setengah dari ukuran awal dengan MTOW seperempat dari sasaran asal. Baseline III merupakan derivatif dari Baseline II dimana sayap digeser lebih ke depan (Gambar-1(c)). Pesawat ini lebih menyerupai pesawat konvensional tetapi tanpa ekor (tail-less). Pesawat Baseline IV (Gambar-1(d)) merupakan pesawat BWB dengan sayap delta yang menyerupai desain seperti yang dikaji dalam referensi [13]. Pesawat Baseline IV dirancang untuk memiliki jarak tinggal landas dan pendaratan yang pendek (short take-off and landing distance).

Aerodinamika dan Kinerja Terbang Pesawat Blended Wing Body ÃÃÃâ Unmanned Aerial Vehicle (BWB-UAV)Gambar-1 BWB (a) Baseline I, (b) Baseline II, (c) Baseline III, dan (d) Baseline IV

Dalam kajian ini dibentangkan aerodinamika dan kinerja terbang dari empat pesawat BWB-UAV tersebut di atas. Koefisien gaya angkat dan gaya hambat ditampilkan untuk memberi perbandingan akan kemampuan aerodinamika dari setiap pesawat. Kinerja terbang dari setiap pesawat dihitung dan dibandingkan untuk kondisi dan konfigurasi terbang yang sama.

2. METODOLOGI

Untuk keperluan kajian ini, semua BWB diatur untuk mempunyai rentang sayap yang sama sebesar 2 m, perbandingan ketebalan terhadap chord sayap, t/c sebesar 12% dan memiliki MTOW yang sama. Gambar-2 menunjukan bentuk planform dari keempat BWB yang dikaji. Pengujian dilakukan dalam dua tahap: 1. Pengujian terowongan angin (wind tunnel) untuk mendapatkan data-data aerodinamika, 2. Penghitungan kinerja terbang.

Gambar-2 Bentuk planform dari BWB yang dikaji 

2.1 Pengujian Terowongan Angin

Pengujian dilakukan dalam terowongan angin berkecepatan rendah di UiTM (Gambar-3). Terowongan angin ini berjenis hisap, memiliki area pengujian 0.5 m x 0.5 m x 1.25 m, dan dilengkapi dengan timbangan eksternal 6 komponen. Untuk kajian ini hanya 3 komponen yang diperlukan dengan menggunakan model setengah badan (half body). Model diperkecil 1/3 dari ukuran sesungguhnya. Gambar-4 menunjukkan model Baseline I dan Baseline II untuk pengujian terowongan angin.

Aerodinamika dan Kinerja Terbang Pesawat Blended Wing Body ÃÃÃâ Unmanned Aerial Vehicle (BWB-UAV)

Gambar-3 Terowongan angin berkecepatan rendah milik UiTM 

Gambar-4 Model untuk pengujian terowongan angin (a) Baseline I dan (b) Baseline II

Pengujian dilakukan dengan kecepatan angin antara 15 m/s hingga 45 m/s. Kecepatan ini memberikan bilangan Reynold yang setara dengan kecepatan angin aktual sebesar 5 m/s hingga 15 m/s untuk ukuran pesawat yang 3 kali lebih besar. Sudut pitch (sudut serang) divariasikan dari -10º hingga +52º. Semua permukaan kontrol pesawat (canard, elevator, aileron, rudder) diset pada nol derajat. Parameter yang diukur untuk setiap sudut serang adalah gaya angkat (lift) dan gaya hambat (drag).

2.2 Penghitungan Kinerja Terbang

Untuk penghitungan kinerja terbang, semua pesawat dianggarkan untuk membawa sehingga 12 buah baterai jenis enam sel 3000 mAh (22.2 V) Lithium-Polymer (LiPo) dan dilengkapi dengan sebuah motor EDF (Electric Ducted Fan) berdiameter 90 mm. Semua BWB mempunyai berat kosong yang sama, sekitar 2 kg, membawa beban 500 gram. Spesifikasi dari keempat BWB yang dikaji dituangkan dalam Tabel-1. Dari tabel dapat dilihat bahwa Baseline IV memiliki luas sayap terbesar sedangkan Baseline III memiliki luas sayap terkecil. Dari segi rasio aspek sayap (wing aspect ratio) Baseline IV memiliki rasio terkecil dan Baseline III terbesar.

 

Tabel-1 Spesifikasi BWB yang dikaji

Perhitungan kinerja terbang dilakukan untuk dua misi ketahanan pada fasa loitering (berkeliling di atas sasaran): misi satu jam dan misi 3 jam. Paremeter kinerja terbang yang dihitung adalah kecepatan pada liputan terbang (flight envelope), tingkat ketahanan, jangkauan dan kecepatan pendakian sebagai fungsi dari jumlah baterai. Dari sini jumlah optimum baterai yang perlu dibawa untuk misi satu jam dan misi tiga jam dapat diperoleh. Sasaran kecepatan pesawat untuk fasa jelajah dan loitering adalah sekitar 20 sampai 40 mph (atau sekitar 32 sampai 64 km/jam, atau 9 sampai 18 m/s). Pesawat perlu memiliki kecepatan terendah untuk tinggal landas dan mendarat, serta mempunyai kecepatan maksimum setinggi mungkin.

Metoda penghitungan dilakukan seperti dalam Gambar-5. Kecepatan udara pada sudut serang tertentu (pada koefisien gaya angkat yang diketahui) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (1), dimana nilai dari setiap komponen dalam persamaan diambil dari Tabel-1 dan dari kurva aerodinamika. Dengan menggunakan hasil kecepatan udara ini, daya yang diperlukan (PR) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (2). Dengan menganggap EDF memberikan gaya dorong yang tetap (TA) pada setiap kecepatan, daya yang tersedia (PA) dapat dihitung menggunakan persamaan (3). Dari hasil yang diperoleh dari persamaan (2) dan (3), kecepatan pendakian (RC) dihitung dengan menggunakan persamaan (4). Arus listrik (A) dihitung melalui persamaan (5). Efisiensi mekanikal (hm) diambil sebesar 75%, efisiensi listrik (he) diambil sebesar 80%, dan tegangan (Volt) sebesar 22.2 V. Nilai-nilai ini diperoleh melalui test yang dilakukan pada EDF. Arus listrik ini menentukan jangka hayat baterai yang berarti jangka waktu ketahanan terbang (E) yang dihitung menggunakan persamaan (6). Dari kapasitas baterai sebesar 3000 mAh , hanya 2/3 digunakan sepanjang fasa jelajah dan loitering, sisanya dipakai semasa tinggal landas, pendakian dan pendaratan, dan juga untuk mensuplai pengontrol dan sistem-sistem bantuan lainnya.

Gambar-5 Metoda penghitungan paremeter kinerja terbang 

 

3. PEMBAHASAN

Dengan mengikuti metodologi yang dijelaskan di atas, koefisien aerodinamika dan kinerja terbang dapat diperoleh dan dihitung. Pembahasan dalam bagian ini dimulai dengan analisa kinerja aerodinamika dan dilanjutkan dengan analisa kinerja terbang dengan menggunakan data-data aerodinamika yang diperoleh.

3.1 Analisa Kinerja Aerodinamika

Gambar-6 menunjukkan kurva aerodinamika dari keempat BWB yang dikaji yang dituangkan dalam bentuk koefisien gaya angkat vs sudut serang (Gambar-6(a)), koefisien gaya hambat vs koefisien gaya angkat atau drag polar (Gambar-6 (b)) dan rasio gaya angkat terhadap gaya hambat vs sudut serang (Gambar-6(c)).

Gambar-6 (a) CL vs a, (b) CD versus CL and (c) L/D versus a

Dari Gambar-6(a) dapat dilihat bahwa Baseline IV mencapai koefisien gaya angkat maksimum bernilai 2 pada sudut serang sekitar 42 derajat, diikuti dengan Baseline III sebesar 1.6 pada sudut serang sekitar 45 derajat, kemudian Baseline II 0.9 pada sudut serang 47 derajat dan terakhir Baseline I 0.7 pada sudut serang sekitar 34 derajat. Baseline I memberikan sudut serang terkecil pada maksimum gaya angkat. Namun walaupun demikian, keempat BWB ini memberikan sudut serang yang cukup tinggi sebelum mencapai stall.

Dari Gambar-6(b) dapat dilihat bahwa Baseline IV dapat meningkatkan nilai CL paling jauh tanpa mengubah CD terlalu besar diikuti oleh Baseline III, kemudian Baseline II dan terakhir Baseline I. Baseline I memberikan koefisien gaya hambat terkecil dibanding yang lainnya, akan tetapi koefisien gaya angkat yang dihasilkan kecil juga.

Dari Gambar-6(c) dapat disimpulkan bahwa L/D maksimum diberikan oleh Baseline II dengan nilai sebesar 23.5 (pada sekitar sudut serang 10 derajat), diikuti oleh Baseline IV sebesar 13.8 (pada sudut serang 7.5 derajat), kemudian Baseline III sekitar 11.2 (pada sudut serang 10 derajat) dan terakhir Baseline I 7.8 (pada sudut serang sekitar 7 derajat). Baseline II memberikan efisiensi aerodinamika tertinggi.

3.2 Analisa Kinerja Terbang

Gambar-7(a) menunjukkan jangkauan kecepatan udara yang dapat diterbangkan oleh setiap BWB menurut jumlah baterai yang dibawanya. Baseline I memberikan kecepatan tertinggi dengan 107 mph (172 km/jam) dan memiliki jangkauan rentang kecepatan terlebar (kecepatan maksimum - kecepatan minimum), diikuti oleh Baseline II. Baseline IV merupakan BWB yang paling lambat dengan lebar jangkauan terpendek. Hal ini tidak mengherankan karena BWB IV memiliki luas area sayap terbesar yang memberikan kecepatan stall terendah sekitar 11 mph (18 km/jam) tetapi juga menghasilkan gaya hambat tertinggi pada kecepatan rendah yang mengakibatkan kecepatan udara maksimum hanya mencapai sedikit di atas 60 mph (97 km/jam).

Gambar-7 (a) Jumlah baterai vs Kecepatan udara, (b) Kecepatan pendakian maksimum vs Jumlah baterai, (c)  Tingkat ketahanan vs Jumlah baterai

Dengan menambah jumlah baterai kecepatan udara minimum ikut meningkat, akan tetapi kecepatan udara maksimum bervariasi, bergantung pada gaya hambat dari masing-masing pesawat. Baseline I dan II mencapai kecepatan udara maksimum  dengan menggunakan 12 baterai, sedangkan Baseline III dan IV mencapai kecepatan udara maksimum dengan menggunakan sekitar 7 baterai.

Dari Gambar-7(b), semua BWB dapat mencapai kecepatan pendakian tertinggi pada berat total minimum, yaitu pada saat hanya satu baterai yang dibawa. Kecepatan pendakian menurun seiring dengan bertambahnya jumlah baterai yang dibawa. Dengan satu baterai, Baseline I dan II memiliki kecepatan pendakian tercepat sekitar 2500 ft/min (kaki per menit), sedangkan Baseline III sekitar 1700 ft/min dan Baseline IV terendah dengan sekitar 1300 ft/min.

Dari Gambar-7(c) dapat dilihat bahwa tingkat ketahanan pesawat tidak berbanding lurus dengan jumlah baterai. Melipatgandakan jumlah baterai tidak berarti melipatgandakan tingkat ketahanan terbang. Semakin banyak jumlah baterai yang dibawa, semakin sedikit penambahan tingkat ketahanan terbang pesawat. Kurva tingkat ketahanan Baseline II berada di paling atas, yang berarti Baseline II memiliki tingkat ketahanan tertinggi dibanding BWB lainnya. Baseline IV berada di posisi kedua, diikuti Baseline II dan terakhir Baseline I. Untuk mencapai tingkat ketahanan selama 3 jam, diperlukan hanya sekitar 3 baterai untuk Baseline II, dan sekitar 4 baterai untuk Baseline IV. Baseline III tidak pernah mencapai tingkat ketahanan terbang selama 3 jam walaupun membawa 12 baterai. Baseline I bahkan tidak sanggup mencapai 1 jam terbang walaupun dengan jumlah baterai maksimum.

Hasil selengkapnya untuk misi satu jam dan misi 3 jam dituangkan dalam Tabel-2. Dalam tabel ini jumlah baterai, berat tinggal landas (TOW), rasio gaya dorong terhadap berat total (T/W), beban sayap, dan tingkat ketahanan diberikan untuk setiap BWB. Kotak berwarna kuning menunjukkan nilai optimal untuk masing-masing parameter. Nilai optimal diambil berdasarkan kriteria berikut: jumlah baterai terkecil, TOW terkecil, T/W terbesar, beban sayap terkecil, dan tingkat ketahanan terpanjang. Dari tabel terlihat bahwa Baseline II memberikan paling banyak nilai optimal dibanding BWB lainnya.

Tabel-2 Kinerja BWB

Tabel-3 menunjukkan kinerja setiap BWB pada berat tinggal landas maksimum. Parameter yang diperoleh adalah kecepatan udara minimum, kecepatan udara maksimum, tingkat ketahanan maksimum pada MTOW, dan kecepatan pendakian maksimum. Kriteria pemilihan adalah: kecepatan udara minimum terendah, kecepatan udara maksimum tertinggi, tingkat ketahanan maksimum pada MTOW terlama, dan kecepatan pendakian maksimum tertinggi. Dari tabel terlihat bahwa Baseline II memberikan paling banyak nilai terbaik dibanding BWB lainnya.

Tabel-3 Kinerja BWB pada MTOW

4. KESIMPULAN

Secara keseluruhan, kinerja keempat BWB dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.  Baseline IV memberikan kecepatan tinggal landas dan pendaratan terendah. BWB ini sesuai untuk operasi dimana runway untuk tinggal landas dan mendarat pendek. BWB ini pun memiliki kecepatan jelajah/loitering terendah. Baseline I memberikan yang tercepat untuk kedua parameter ini. Baseline II dan III sedikit lebih rendah dari Baseline I. Baseline II memberikan jangkauan rentang kecepatan terlebar. Hal ini membuat Baseline II lebih berguna untuk berbagai jenis operasi.

2.  Baseline II memberikan tingkat ketahanan maksimum yang boleh dicapai pada MTOW terpanjang (4.32 jam) dengan kecepatan pendakian tertinggi (769 ft/min). Baseline IV menempati urutan kedua untuk tingkat ketahanan maksimum, tetapi terburuk untuk kecepatan pendakian maksimum.

Akhirnya, apabila jumlah nilai optimal terbanyak merupakan satu-satunya kriteria untuk memilih BWB yang terbaik dari 4 desain yang dikaji, maka Baseline II merupakan yang pemenang secara keseluruhan.

 

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Pendidikan Tinggi Malaysia (KPT), Pusat Pengurusan Penyelidikan (RMC) dan Faculty of Mechanical Engineering, Universiti Teknologi MARA (UiTM) atas pemberian dana dan dukungan untuk penelitian ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Djalal, H., 2013. Pengelolaan Batas Maritim dan Kawasan Perbatasan: Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan, Penegakan Hukum dan Kedaulatan NKRI. Jurnal Pertanahan Vol. 3 No. 13.
  2. Qin, N.,  Vavalle, A., Le Moigne, A., Laban, M., Hackett, K., and Weinnerfelt, P., 2004. Aerodynamic Considerations of Blended Wing Body Aircraft. Progress in Aerospace Science, 321-343
  3. Engels, H., Becker, W., and Morris, A., 2004. Implementation of a Multi-Level Methodology within the E-Design of A Blended Wing Body. Aerospace Science and Technology, 145-153
  4. Paulus, D., Salmon, T., Mohr, B., Roessler, C., Petersson, O., Stroscher, F., Baier, H., Hornung, M., 2013. Configuration Selection for a 450-Passenger Ultra-Efficient 2020 Aircraft. Progress in Flight Dynamics, GNC, and Avionics 6, 601-618.
  5. Dommelen, J. V., Vos, R., 2014. Conceptual Design and Analysis of Blended-Wing-Body Aircraft. Proceedings of the Institution of Mechanical Engineers, Part G: Journal of Aerospace Engineering November 2014 Vol. 228 No. 13, 2452-2474
  6. Mulyanto, T., Nurhakim, M. L. I., 2013. Conceptual Design of Blended Wing Body Business Jet Aircraft. Journal of KONES Powertrain and Transport, Vol. 20, No. 4, 299-306.
  7. Nasir, R. E. M., Kuntjoro, W., Wisnoe, W., Mamat, A. M. I., 2009. The Effect of Centre Elevator on Aerodynamics of UiTM Baseline-1 Blended Wing Body (BWB) Unmanned Aerial Vehicle (UAV) at Low Subsonic Speed. Journal of Mechanical Engineering, UiTM, Vol. 6, No. 2, December 2009, 73-96.
  8. Wisnoe, W., Nasir, R. E. M., Kuntjoro, W., Mamat, A.M.I., 2009. Wind Tunnel Experiments and CFD Analysis of Blended Wing Body (BWB) Unmanned Aerial Vehicle (UAV) at Mach 0.1 and Mach 0.3. 
  9. Proceedings Thirteenth International Conference on Aerospace Sciences & Aviation Technology (ASAT â 2009), Cairo, Egypt, May 26-28, 2009.
  10. Wisnoe, W., Zurriati, M.A., Firdaus, M., Nor Fazira, R., M. Nasir, R.E., Kuntjoro, W., 2010. Experimental investigation of center elevator deflection on aerodynamics of UiTM's Baseline-I Blended Wing Body (BWB) unmanned aerial vehicle (UAV). CSSR 2010 - 2010 International Conference on Science and Social Research, art. no. 5773694, 108-112
  11. Nasir, R. E. M., Kuntjoro, W., Wisnoe, W., Ali, Z., Reduan, N. F., Mohamad, F., Suboh, S., 2010. Preliminary Design of Baseline-II Blended Wing-Body (BWB) Unmanned Aerial Vehicle (UAV): Achieving Higher Aerodynamic Efficiency Through Planform Redesign and Low-Fidelity Inverse Twist Method. Proceedings. 3rd Engineering Conference on Advancement in Mechanical and Manufacturing for Sustainable Environment (EnCon2010), Kuching, Sarawak, Malaysia, April 14-16, 2010.
  12. Wisnoe, W., Mohamad, F., M. Nasir, R.E., Reduan, N.F., Ali, Z. & Kuntjoro, W., 2010. Experimental Results Analysis of UiTM BWB Baseline-I and Baseline-II UAV Running at 0.1 Mach number. New Aspects of Fluid Mechanics, Heat Transfer And Environment,  WSEAS Mechanical Engineering Series,   142-146
  13. Wisnoe, W., Nasir, R.E.M., Ramly, R., Kuntjoro, W., Muhammad, F., 2015. Aerodynamic of UITMâs Blended-Wing-Body Unmanned Aerial Vehicle Baseline-II equipped with one central vertical rudder. Jurnal Teknologi, Vol. 75, Issue 8, 95-99.
  14. Mata, S., Ishak, I.S., Zakaria, K., Khan, Z. A., 2014. Manufacturing Process of Blended Delta-Shaped Wing Model. Advanced Materials Research Vol. 845, 971-974.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags

About The Author

Wirachman Wisnoe 17
Pensil

Wirachman Wisnoe

Alumni Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB). Mendapatkan ijazah sarjana jurusan mekanika di Universitas Paul Sabatier, Toulouse, France. Mendapatkan master (Maîtrise) dalam bidang mekanika dari Universitas Paul Sabatier, Toulouse, France, master (Dipl. Ing.) dalam bidang konstruksi pesawat terbang dari École Nationale Supérieure d'Ingénieurs de Constructions Aéronautiques (ENSICA), Toulouse, France, serta master (Diplôme d'Etudes Approfondies atau DEA) dalam bidang mekanika fluida dari universitas yang sama (ENSICA). Ijazah Doktor falsafah diperoleh dari École Nationale Supérieure de l'Aéronautique et de l'Espace (ENSAE/Sup'aéro), Toulouse, France dalam bidang mekanika fluida pada tahun 1993
Brain Gain adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Wirachman Wisnoe

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login