Gas Biogenik: Gas Masa Depan

13 Jan 2017 14:33 6631 Hits 0 Comments
Gas biogenik terdiri dari gas biogenik primer yang terbentuk dari diagenesis material organik di dalam sedimen dan gas biogenik sekunder yang berasal dari minyak bumi yang terbiodegradasi. 

ABSTRAK

Total cadangan gas biogenik diperkirakan mencapai 20% dari cadangan gas bumi secara keseluruhan, namun kebanyakan temuan-temuan gas biogenik terjadi secara kebetulan; hanya sedikit upaya eksplorasi yang dilakukan khusus untuk menemukan cadangan gas biogenik tersebut.

Gas biogenik terdiri dari gas biogenik primer yang terbentuk dari diagenesis material organik di dalam sedimen dan gas biogenik sekunder yang berasal dari minyak bumi yang terbiodegradasi. Proses terbentuknya gas biogenik komersial umumnya melalui reduksi CO2 dengan ciri-ciri umum gas sangat kering, kandungan metana yang dominan serta isotop karbon stabil (d13C) yang ringan, kurang dari -50 ‰. Faktor penting lainnya adalah laju pengendapan batuan induk, pembentukan awal jebakan, temperatur yang rendah, dan lingkungan sulfat yang rendah.

Proses akumulasi gas biogenik primer memerlukan sistem perminyakan yang bekerja baik sehingga memungkinan gas biogenik terperangkap dan terakumulasi. Elemen geologi memainkan peran yang sangat penting untuk menentukan ukuran komersial suatu cebakan; penemuan mutakhir di Levantine Basin membuktikan bahwa cadangan gas biogenik dapat berukuran super raksasa dengan volume total mencapai lebih dari 60 tcf.

Pengetahuan tentang proses pembentukan dan akumulasi gas biogenik merupakan kunci untuk penerapan eksplorasi di wilayah cekungan Tersier di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Diharapkan upaya pencarian yang sistematis akan meningkatkan tingkat keberhasilan penemuan gas biogenik di masa depan.

Kata kunci: Gas Metana, Biogenik, Eksplorasi, Temperatur, Isotop

1. PENDAHULUAN

Gas biogenik secara umum bukan merupakan target utama dalam eksplorasi gas dan minyak bumi, kebanyakan gas biogenik yang ada sampai saat ini ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pencarian target gas dan minyak termogenik.

Total cadangan gas biogenik diperkirakan sekitar 20% dari cadangan gas bumi secara keseluruhan [7]. Walaupun demikian, sedikit sekali upaya eksplorasi yang dilakukan secara sengaja dan sistematis untuk menemukan gas biogenik secara khusus dikarenakan kesulitan-kesulitan yang sering ditemui dalam memperkirakan kondisi yang optimum untuk pembentukan gas biogenik dan volume yang dihasilkan dari kondisi tersebut [2].

Gas biogenik terbagi dalam dua golongan, primer dan sekunder [6]. Gas biogenik primer terbentuk pada awal diagenesis material organik di dalam sedimen, sedangkan gas biogenik sekunder berasal dari minyak bumi konvensional yang terbiodegradasi di dalam batuan reservoarnya. Kedua golongan gas biogenik tersebut adalah hasil proses dari bakteri metanogenik yang mengkonsumsi material organik dalam lingkungan yang bebas dari sulfat pada temperatur maksimum sekitar 750 C [2]. Selanjutnya terdapat dua proses utama terbentuknya gas biogenik yaitu reduksi CO2 dan fermentasi asetat, yang mana reduksi CO2 diperkirakan sebagai proses yang paling signifikan dalam menghasilkan akumulasi gas yang komersial [6]. Kondisi-kondisi optimum terbentuknya gas biogenik primer mencakup laju pengendapan batuan induk/source rock yang bervariasi antara 200 – 1000 m/juta tahun, pembentukan awal jebakan, temperatur rendah, sejarah migrasi yang mendukung serta lingkungan sulfat yang rendah.

Kebanyakan penulis sepakat bawa ciri khas gas biogenik adalah gas kering (C1/C2+C3 umumnya lebih besar dari 1000), kandungan metana yang sangat dominan (>98% metana), serta isotop karbon stabil (d13C) yang ringan, kurang dari (per mil) relatif terhadap standar PDB (Pee Dee Belemnite) [6].

Artikel ini akan membahas proses pembentukan dan akumulasi gas biogenik primer yang kaya metana di endapan laut, elemen geologi yang kritikal dalam penemuan-penemuan mutakhir gas biogenik primer raksasa dan upaya-upaya eksplorasi yang bisa diaplikasikan dalam pencarian gas biogenik primer di wilayah cekungan-cekungan Tersier di Asia Tenggara pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

2. PEMBAHASAN

Mekanisme pembentukan gas biogenik telah banyak dipublikasikan baik melalui tes laboratorium ataupun pengamatan di lapangan karena kehadirannya di permukaan atau dekat permukaan maupun di bawah permukaan [2][4][5][6][7], yang mana semua kondisi tersebut mempunyai satu kesamaan, yaitu lingkungan anoksik yang sangat vital untuk keberadaan bakteri metanogen. Selanjutnya, proses pembentukan dan akumulasi gas biogenik primer memerlukan semua unsur sistem perminyakan bekerja selayaknya hidrokarbon termogenik seperti adanya batuan induk, batuan reservoar, jebakan struktural/stratigrafi, batuan penutup dan jalur migrasi yang memungkinan gas biogenik terperangkap dan terakumulasi. Elemen geologi memainkan peran yang sangat penting untuk menentukan ukuran komersial suatu akumulasi atau cebakan; penemuan mutakhir di Levantine Basin Mediterania, seperti Lapangan Tamar, Leviathan dan Zohr, membuktikan bahwa cadangan gas biogenik dapat berukuran raksasa – super raksasa yang mana volume total lapangan-lapangan tersebut dapat mencapai lebih dari 60 tcf (trillion cubic feet) [3][9].

 

2.1 Proses pembentukan dan akumulasi gas biogenik (primer)

Proses metanogenesis yang bisa menghasilkan gas biogenik komersial kebanyakan berasal dari reduksi CO2 dengan reaksi geokimia sebagai berikut: CO2 + 4H2  à  CH4 + 2H2O. Katz [6] menyatakan proses tersebut tergantung kepada banyak faktor, misalnya keberadaan nutrien, kuantitas dan kualitas material organik, temperatur, kadar sulfat yang sangat rendah, salinitas dan tingkat keasaman dalam air pori. Ruang pori dalam sedimen juga harus cukup tersedia untuk pertumbuhan populasi bakteri metanogen sebagai sumber utama pembentukan gas biogenik.

Clayton [2] memperkirakan sekitar satu meter kubik batuan sedimen yang mengandung 1% karbon organik total akan menghasilkan sekitar 4.9 m3 (~173 kaki kubik) gas dalam kondisi yang optimum atau ekuivalen dengan konversi sekitar 10% material organik. Hasil konversi secara keseluruhan sangat dikontrol oleh laju pemanasan sebagai fungsi dari gradien geotermal dan laju sedimentasi. Laju pemanasan ini umumnya disederhanakan menjadi fungsi temperatur terhadap aktifitas bakteri yang notabene mempengaruhi ketersediaan gas hasil konversi material organik yang bersangkutan.

Beberapa penulis [1][4][6] menggambarkan hubungan aktitas bakteri metanogen dengan temperatur (metanogenesis kinetik). Katz [6] lebih lanjut meyatakan bahwa hanya bakteri mesophiles yang penting untuk pembentukan akumulasi gas biogenik yang komersial. Dari Gambar-1a dapat terlihat puncak aktifitas bakteri metanogen berada pada temperatur antara 300 – 500 C. Gambar-1b menggambarkan konversi dari aktifitas bakteri ke hasil kumulatif gas biogenik (normalisasi) sebagai fungsi dari temperatur menggunakan kinetik dari Gang & Jiang [4]. Dapat terlihat bahwa hampir 50% gas metana dihasilkan pada temperatur sekitar 350C dam puncak konversi terjadi pada temperatur sekitar 500 C dimana 90% material organik telah terkonversi menjadi gas metana. Aktifitas bakteri dan konversi gas metana menurun tajam pada temperatur di atas 500 C dan terhenti sama sekali pada temperatur kurang lebih 650 C yang secara umum merupakan batas temperatur maksimal untuk proses pembetukan gas biogenik.

Gambar-1a dan 1b. Menunjukkan kompilasi aktifitas bakteri sebagai fungsi dari temperatur dari pelbagai penulis [1][4][6], serta konversi aktifitas bakteri tersebut menjadi hasil kumulatif gas metana [4].

Selanjutnya proses akumulasi gas metana yang terbentuk dari aktifitas bakteri tersebut sangat tergantung kepada elemen sistem perminyakan yang mendukung seperti adanya batuan reservoar dan batuan penutup atau sekatan (seal), tersedianya jebakan dan jalur migrasi yang medukung untuk akumulasi gas biogenik ke dalam cebakan. Banyak mekanisme akumulasi gas biogenik, misal Hongping dan kawan-kawan [5] melakukan studi di Cekungan Andaman tentang migrasi dan remigrasi gas biogenik di ke batuan reservoar yang lebih dangkal melalui proses pencairan gas hidrat, Katz [6] mengamati bahwa akumulasi gas biogenik sering berasosiasi dengan struktur sederhana yang terbentuk segera setelah proses endapan, kemudian diikuti oleh proses metanogenesis dan akumulasi gas.

Penulis mencoba memberi contoh kasus proses pembentukan dan akumulasi gas biogenik melalui Gambar-2a sampai Gambar-2e, di mana ilustrasi ini merupakan hasil studi dalam mempelajari satu cebakan gas biogenik komersial (cadangan terbukti lebih dari 2 tcf) di laut dalam di sekitar wilayah Sabah/Brunei. Proses pembentukan dan akumulasi yang serupa juga diamati terjadi di wilayah-wilayah laut dalam di Laut Andaman [5], cekungan busur luar Sumatra, cekungan busur belakang Jawa dan Papua [8].

Wilayah studi penulis merupakan endapan laut dalam berumur Pliosen dengan kedalaman laut berkisar antara 1400 – 2000m. Sedimentasi didominasi oleh Mass Transport Complex (MTC), yang juga merupakan batuan penutup, dengan sedikit masukan batupasir pada batas Miosen – Pliosen. Struktur utama adalah lipatan landai yang menyediakan jebakan-jebakan antiklin pada punggung-punggung lipatan. Batuan induk diperkirakan diendapkan bersamaan dengan batupasir sebagai batuan reservoar utama dengan waktu pengisian/charging gas biogenik terjadi sejak Pliosen Atas sampai sekarang.

Gambar-2a. Kondisi pra-kinematik di mana struktur belum terbentuk. Grafik sebelah kanan adalah temperatur vs. kedalaman di bawah dasar laut (depth below mudline) dan kinetik menurut Gang & Jiang [4].

Apabila batuan penutup telah cukup tebal maka terjadi dua proses, temperatur pada sekuen Hz2 meningkat dan material organik mulai terdiagenesis dan terkonversi menjadi gas biogenik pada temperatur sekitar 250 C yang kemudian akan terakumulasi di dalam reservoar batupasir apabila membentuk jebakan stratigrafi. Proses kedua adalah pembetukan sekatan di mana ketebalan minimal batuan penutup yang diperlukan untuk sekat yang efektif adalah sekitar 500m [7].

Gambar-2b. Kondisi sin-kinematik awal menunjukkan awal pembentukan lipatan yang landai. Titik hijau adalah referensi untuk area sinklin dan titik merah/oranye untuk area antiklin. Titik-titk ini berasosiasi dengan posisi dalam grafik temperatur vs. kedalaman dan posisi pengisian/charge gas biogenik di dalam grafik kinetik di sebelah kanan.

Batuan penutup (sekuen Hz3) lebih tebal di area sinklin sehingga terjadi perbedaan temperatur dengan antiklin. Material organik dari batupasir (sekuen Hz2) di area sinklin mengalami diagenesis dan terkonversi lebih lanjut menjadi gas biogenik pada temperatur sekitar 300 C. Adapun di area antiklin juga sudah terjadi pembentukan gas, walaupun sedikit, pada temperatur sekitar 200C. Gas biogenik besar kemungkinan besar terakumulasi karena adanya jebakan struktur berupa lipatan landai. Pada tahap ini, sering teramati anomali amplitudo di data seismik termasuk di area sinklin yang diperkirakan berasal dari gas biogenik hasil konversi awal material organik.

Gambar-2c. Kondisi awal puncak sin-kinematik menunjukkan kenaikan amplitudo lipatan dengan penambahan sedimentasi sekuen Hz4.

Batuan sedimen umumnya terkubur lebih dalam dengan penambahan sedimentasi sekuen Hz4, akan tetapi di area sinklin terkubur lebih dalam dan mencapai temperatur optimum untuk puncak aktifitas bakteri (~500 C) sehingga konversi gas biogenik terjadi secara maksimal. Area antiklin juga mengalami pembentukan gas biogenik secara progresif dan turut mengisi jebakan. Lipatan umumnya masih berupa lipatan landai.

Gambar-2d. Kondisi puncak sin-kinematik menunjukkan kenaikan amplitudo lipatan maksimum melalui proses pembebanan sedimen dengan penambahan sedimentasi sekuen Hz5. Proses ini biasanya juga mengakibatkan perubahan samar di muka dasar laut (Water Bottom).

Keseluruhan batuan sedimen terkubur lebih dalam, dan area sinklin telah melewati temperatur optimum untuk proses metanogenesis sehingga laju pembentukan gas biogenik berkurang jauh. Sebaliknya, area antiklin berada pada temperatur optimum (500 C) dan mendominasi kontribusi gas biogenik ke dalam jebakan. Kemungkinan besar 90% dari total material organik di sekuen Hz2 telah terkonversi menjadi gas biogenik pada kondisi ini atau selama pengendapan sekuen Hz4 dan sekuen Hz5. Ini kondisi yang paling ideal untuk mengakumulasi gas biogenik di mana hampir keseluruhan potensi batuan induk telah terkonversi  menjadi gas, dan lipatan mencapai ketinggian maksimum dengan sekatan efektif.

Gambar-2e. Kondisi sekarang yang mana terjadi penguburan sedimen maksimum dan strukturasi muda.

Paska sedimentasi sekuen Hz5, terjadi strukturasi muda berupa kompresi yang mengakibatkan lipatan terangkat lebih tinggi, erosi di puncak antiklin muda dan terbentuknya patahan-patahan di batas struktur antiklin. Ruang deposisi yang terbentuk di antara punggungan antiklin diisi oleh hemipelagites. Kontribusi gas biogenik hanya sedikit dihasilkan dari area antiklin sedangkan sinklin mencapai temperatur sekitar 750 C, yang notabene merupakan batas maksimal aktifitas bakteri metanogen.

Pada kondisi ini preservasi gas biogenik yang telah terakumulasi berisiko mengalami gangguan berupa sekatan yang bocor dikarenakan patahan-patahan akibat aktifitas strukturasi muda dan tekanan pori dari lipatan yang terangkat. Risiko lainnya adalah remigrasi gas biogenik dari akumulasi awal akibat perubahan bentuk antiklin yang mengalami strukturasi muda dan meninggalkan gas residu dengan saturasi rendah. Hal ini sangat sulit di deteksi menggunakan amplitudo seismik dikarenakan kenampakan yang serupa antara gas saturasi tinggi dengan gas residu (saturasi kurang dari 10%). Mempelajari sejarah geologi dan elemen sistem perminyakan yang lengkap merupakan kunci untuk mengevaluasi risiko gas residu.

2.2 Elemen geologi yang penting dalam penemuan-penemuan gas biogenik mutakhir

Penemuan-penemuan mutakhir membuktikan bahwa gas biogenik dapat berukuran rakasa – super raksasa [3][9]. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini telah ditemukan lebih dari 60 tcf  gas biogenik di Cekungan Levantine, Mediterania, yang terdiri dari lapangan Tamar, Leviathan dan Zohr. Ada beberapa elemen sistem perminyakan unik yang bisa dipelajari dari lapangan-lapangan ini untuk aplikasi pencarian gas biogenik yang sistematis.

Cekungan Levantine mencakup wilayah perairan Mesir, Israel di sebelah selatan dan Siprus serta Libanon di sebelah Utara dan Timur. Gas biogenik play sebagian besar ada di wilayah timur cekungan, yang mana sumber daya gas yang besar ditemukan dalam reservoar klastik laut dalam (Lapangan Tamar dan Leviathan) dan reservoar karbonat laut dangkal (Lapangan Zohr).

Gas Biogenik: Gas Masa DepanGambar-3. Lintasan seismic regional dan interpretasinya melalui Cekungan Levantine yang menunjukkan batas-batas cekungan di sebelah Barat Laut dan dan Tenggara, sekuen-sekuen stratigrafi serta struktur-struktur regional. Sistem perminyakan gas biogenik aktif tempat Lapangan Tamar dan Leviathan ditemukan terdapat pada sekuen Oligo-Miosen (warna kuning) di tengah-tengah cekungan dengan beberapa potensi disekitarnya [9]. Sumber: Dimodifikasi dari Wygrala dan kawan-kawan (2014).

Sejarah geologi cekungan ini dimulai sejak umur Triasik sampai Pliosen dengan dominasi sekuen karbonat dan klastik laut dangkal dan laut dalam, dan terdiri dari beberapa sistem perminyakan aktif (Gambar-3). Khusus untuk gas  biogenik, sistem perminyakan ini dimulai sejak Era Kenozoikum dimana Cekungan Levantine berevolusi menjadi cekungan foreland dan foredeep dengan sedimentasi yang lebih terbatas bersumber dari batas cekungan dengan sedimen kasar berulangkali membanjiri area pelagic sepanjang Masa Oligosen dan Miosen, yang merupakan batu induk utama untuk gas biogenik [3].

Batuan induk untuk lapangan-lapangan di Levantine Basin kemungkinan besar berasal hanya dari sekuen Oligo-Miosen yang terendapkan di tengah-tengah cekungan (Gambar-3). Batuan reservoar untuk Lapangan Tamar dan Leviathan juga berasal dari endapan laut dalam di dalam sekuen Oligo-Miosen yang membentuk lipatan-lipatan landai berupa drapes sehingga menjadi tempat yang ideal untuk jebakan gas biogenik.

Untuk Lapangan Zohr, cebakan berada dalam batuan reservoar terumbu karbonat laut dangkal berumur Miosen (Gambar-4) yang sekaligus menjadi jebakan untuk gas biogenik [3]. Elemen yang menyatukan lapangan-lapangan tersebut adalah batuan penutup dan sekatan yang disediakan oleh sedimen evaporit. Proses pengendapan evaporit ini sangat unik untuk Cekungan Levantine, di mana terbentuknya evaporit melalui peristiwa Messian Salinity Crisis/MSC di Kala Miosen Atas. Wygrala dan kawan-kawan [9] berhipotesis bahwa MSC mengakibatkan terbentuknya lapisan garam evaporit yang sangat cepat dan tebal, kenaikan temperatur di permukaan dan penurunan tekanan.

 

Gambar-4. Sketsa geologi Lapangan Zohr yang memperlihatkan sistem perminyakan penemuan tersebut [3]. Sumber: Esestime dan kawan-kawan (2016).

Menurut penulis, efek dari MSC terhadap sistem perminyakan di Cekungan Levantine sangat penting di mana sifat konduktivitas termal yang tinggi dari evaporit mengalirkan panas dari bawah lapisan dan mengakibatkan sebagian besar sedimen batuan induk Oligo-Miosen di bawah endapan evaporit dalam keadaan temperatur optimum untuk pembentukan gas biogenik dalam periode yang cukup lama, sejak Miosen Atas. Mengingat sifat kedap evaporit untuk batuan penutup dan sekatan terbaik dibandingkan batuan lainnya, kehadiran sedimen evaporit sebagai bagian dari elemen geologi di Cekungan Levantine menjadikannya tempat yang ideal untuk mengakumulasi cebakan gas biogenik berukuran super besar.

 

2.3 Gas biogenik di cekungan-cekungan Tersier di Asia Tenggara

Untuk wilayah cekungan-cekungan Tersier di Asia Tenggara, evaporit hampir mustahil terendapkan. Akan tetapi, banyak terdapat faktor-faktor lain yang mendukung proses pembentukan gas biogenik, antara lain laju sedimentasi yang tinggi, material humik dari fluvio-deltaik yang banyak terendapkan pada Kala Pliosen, pengendapan batuan reservoar bersamaan dengan batuan induk menyebabkan pembentukan dan akumulasi gas biogenik yang tidak terputus dan jebakan yang tercipta secara sinkinematik pada kedalaman dangkal [5]. Selain studi kasus di wilayah Sabah/Brunei (Sub-bab 2.1), Gambar-5 lintasan seismik dari Cekungan Andaman merupakan salah satu contoh cebakan gas biogenik yang umum terdapat di cekungan Tersier di Asia Tenggara. Penemuan-penemuan mutakhir di wilayah laut dalam Myanmar (Cekungan Rakhine) mengindikasikan kemenerusan sejarah geologi dan tren gas biogenik dari Cekungan Andaman ini.

Gambar-5. Kenampakan anomali seismik (bright spots) dan Direct Hydrocarbon Indicator di sekitar patahan hasil dari proses remigrasi gas biogenik setelah pencairan gas hidrat. Sumber: Hongping dan kawan-kawan (2011) [5].

Satyana, dan kawan-kawan [8] mempublikasikan penyebaran regional wilayah-wilayah gas biogenik di Indonesia berdasarkan sifat geokimianya, di antaranya di cekungan busur luar Sumatra (dalam reservoar terumbu karbonate Miosen Atas), di Cekungan Jawa Timur (dalam reservoar Plio-Plestosen), di wilayah laut dalam di Cekungan Kutai (dalam reservoar turbidit Pliosen), dan di Cekungan Papua Utara (dalam reservoar Plestosen). Akan tetapi, penemuan-penemuan gas biogenik tersebut terjadi pada saat pencarian gas dan minyak bumi termogenik, sehingga pencarian yang sistematis masih harus tetap diupayakan berdasarkan sebaran regional di atas.

Ukuran cebakan gas biogenik di wilayah cekungan Tersier Asia Tenggara biasanya tersebar dan berukuran kecil kurang dari 2 tcf, kecuali beberapa temuan (misal penemuan Niengo di Papua Utara), dikarenakan batuan penutup yang tidak efektif, tektonik aktif yang berkemungkinan besar merusak sekatan dan heatflow yang relatif tinggi. Walaupun begitu, komersialisasi lapangan-lapangan gas biogenik tetap dapat dilakukan, misalnya pengembangan secara cluster, tie in atau penggunaan smart well technology untuk pengembangan lapangan marginal secara efisien dan murah.

 

3. KESIMPULAN

Gas biogenik mempunyai cadangan yang cukup signifikan, sekitar 20% dari total cadangan gas bumi secara keseluruhan, sehingga merupakan target masa depan yang sangat berharga untuk diupayakan pencariannya secara sistematis. Penemuan mutakahir di wilayah Mediterania membuktikan akumulasi gas biogenik dapat mencapai ukuran lebih dari 60 tcf disebabkan kondisi geologi unik yang hanya ada di sana. Akan tetapi faktor penting dalam proses pembentukan dan akumulasi gas biogenik dapat kita pelajari untuk mengerti lebih lanjut mengenai mekanisme pembentukan dan akumulasi tersebut.

Di cekungan Tersier di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pada umumnya sudah terdapat elemen penting untuk pembentukan dan akumulasi gas biogenik yang kondusif, yaitu: laju sedimentasi yang tinggi termasuk sedimen batuan induk dan reservoar yang sering terendapkan bersamaan sehingga proses metanogenesis dapat berlangsung tanpa interupsi, pembentukan struktur yang sederhana dengan jalur migrasi yang mendukung dan cekungan yang dalam dengan sedimentasi yang tebal sehingga heatflow tinggi tidak mempengaruhi proses metanogenesis pada batuan sedimen yang lebih muda dan dangkal. Risiko yang umum terjadi di cekungan Tersier adalah batuan penutup yang kurang efektif serta tektonik aktif yang bisa membocorkan sekatan dan meremigrasi akumulasi yang telah ada.

Beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan berdasarkan studi kasus yang pernah dipelajari oleh penulis:

  1. Identifikasi serta penggolongan cekungan-cekungan berdasarkan heatflow serta laju pengendapan sedimentasi sehingga dapat dibuat karakter-karakter cekungan yang berpeluang tinggi untuk pembentukan dan pengakumulasian gas biogenik. Penggolongan ini sebaiknya diikuti dengan pengambilan data geokimia melalui survey regional sehingga pemodelan cekungan dapat dilakukan secara lebih cermat.
  2. Evaluasi sejarah geologi yang menyeluruh guna melengkapi pengamatan anomali seismik untuk mengurangi risiko gas residu pada setiap anomali dangkal.
  3. Pengembangan lapangan-lapangan gas biogenik marginal dapat dilakukan dengan pengembangan cluster, tie in, smart well technology yang tepat guna dan efisiensi biaya atau melalui FLNG (Floating Liquefied Natural Gas). Diharapkan dengan adanya pengembangan awal ini, dapat mendorong eksplorasi di sekitar lapangan (near field exploration) yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai ekonomis lapangan gas tersebut secara keseluruhan.

 

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Nick Wilson di Murphy Oil yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi mengenai gas biogenik di wilayah Sabah/Brunei, kepada Sigit Rusdinandar dan team yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuangkan pikiran yang mudah-mudahan bermanfaat untuk Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Chung, Y.H., Yang, S.Y., Kim, J.W., 2012. Numerical simulation of deep biogenic gas play Northeastern Bay of Bengal, Offshore Northwest Myanmar. AAPG International Conference and Exhibition, Milan.
  2. Clayton, C. 1992. Source volumetrics of biogenic gas generation. In: Vially, R. (Ed.), Bacterial Gas: Edition Technip, Paris, hal. 191-204.
  3. Esestime, P., Hewitt, A., Hodgson, N., 2016. Zohr – a newborn carbonate play in the Levantine Basin, East-Meditteranean. First Break Vol. 34, hal. 87-93.
  4. Gang, Z.Y., Jiang, C.H., 1985. Concept of the generation and accumulation of biogenic gas. Journal of Petroleum Geology, Vol. 8, Issue 4, hal. 405-422.
  5. Hongping, W., Fuliang, L., Fan, G., Mao, C., Hongxia, M., 2011. Geological conditions and accumulation mechanism of shallow biogenic gas reservoirs in Andaman Basin. AAPG Annual Convention and Exhibition, Houston.
  6. Katz, B.J., 2011. Microbial processes and natural gas accumulations.The Open Geology Journal, Vol. 5, hal. 75-83.
  7. Rice, D.D., Claypool, G.E., 1981. Generation, accumulation and resource potential of biogenic gas. American Association of Petroleum Geologist Bulletin, 65, hal. 5-25.
  8. Satyana, A.H., Marpaung, L.P., Purwaningsih, M.E.M., Utama, M.K., 2007. Regional gas geochemistry of Indonesia: Genetic characterization and habitat of natural gas. Proceeding Indonesian Petroleum Association, 35th Annual Convention and Exhibition.
  9. Wygrala, B., Rottke, W., Kornpihl, D., Neumaier, M., Al-Balushi, A., Marlow, L., 2014. Assessment of controlling factors in mixed biogenic and thermogenic petroleum system – A case study from the Levantine Basin. AAPG Annual Convention and Exhibition, Houston.
Tags

About The Author

Herry Maulana 16
Pensil

Herry Maulana

Herry merupakan tenaga ahli geologi eksplorasi yang saat ini bekerja di Murphy Oil berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Lulusan Geologi ITB tahun 1999, Herry melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan S2 melalui beasiswa Chevening Award ke Oxford Brookes University di Inggris dalam bidang Petroleum Geoscience. Herry sudah berpengalaman lebih dari 16 tahun dalam bidang eksplorasi dan produksi gas dan minyak bumi yang ditempa melalui perusahaan-perusahaan tempatnya bekerja, seperti Amerada Hess, Unocal Indonesia, Pearl Oil dan Murphy Oil dengan wilayah kerja di cekungan-cekungan di Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kutai, Inggris: Northern dan Central North Sea, Australia: Browse, Bonaparte, Northern Carnarvon dan Perth, NW Borneo: Sabah, Sarawak dan Brunei.
Brain Gain adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Herry Maulana

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login