Aplikasi Teknik Analisa Jaringan Konsep Asosiatif dalam Pengembangan Metode Pelatihan Desain bagi Pengrajin

18 Jan 2017 19:01 7737 Hits 0 Comments
Teknik Analisa Jaringan Konsep Asosiatif dapat mengungkap struktur kerumitan koneksi mental atau kesan mendalam manusia terhadap arketip obyek 

ABSTRAK

Teknik Analisa Jaringan Konsep Asosiatif dapat mengungkap struktur kerumitan koneksi mental atau kesan mendalam manusia (profound understanding) terhadap arketip obyek (mother figure). Konsep asosiatif membantu mensortir atribut kata sebagai representasi sejati dari impresi mendalam antara manusia, proses dan artefak. Tulisan ini menyelidiki tingkat kognisi pengrajin dan desainer (pelatih desain) dalam proses pelatihan desain. Teknik Analisa Jaringan Konsep Asosiatif digunakan untuk mengekstrak pikiran yang diverbalkan dari para pengrajin dan desainer dalam sebuah eksperimen konseptualisasi merancang wadah buah. Hasilnya verbalisasi kemudian diidentifikasi melalui hubungan semantik berdasarkan analisis faktor. Hasilnya menunjukan pengrajin cenderung mengaktifkan kognisi kreatif dengan fokus konseptualisasi lebih spesifik pada penampilan produk dan aspek teknis, seperti ‘operasi’ (mengganti, mengurangi, dll) dan ‘bentuk’ (pinggang, tubuh, dll). Sebaliknya, desainer menunjukkan konseptualisasi yang lebih terbuka pada isu yang berkaitan dengan ‘persekitaran’ seperti adegan (pesta, norma, dll) dan daya tarik (segar, piring, dll). Hasil ini menunjukkan bahwa konseptualisasi kreatif pengrajin mudah terjebak pada level rendah proses kreatif, dan hambatan ini dapat ditingkatkan dengan memodifikasi konseptualisasi yang lebih terbuka. 

Kata kunci: Kognisi Kreatif, Konsep, Asosiatif, Desainer, Pengrajin, Pelatihan

1. PENDAHULUAN

Saat ini, industri-industri kecil di banyak negara berkembang mendapatkan perhatian khusus karena industri tersebut memiliki potensi dalam hal penciptaan lapangan kerja baru selain menjaga identitas lokal masing-masing negara. Pemerintah daerah di berbagai negara telah mengimplementasikan program pendampingan, seperti pelatihan desain untuk meningkatkan kemampuan para pengrajin baik kemampuan secara teknis dan juga kemampuan kreatif agar dapat secara mandiri menghasilkan produk-produk yang unggul. Namun demikian, mencari tenaga desainer (pelatih desain) yang faham dalam menerjemahkan nilai-nilai arif tradisi menjadi desain yang unggul tidaklah mudah [1]. Terlebih lagi, adanya gap dalam proses berpikir kreatif antara desainer dan pengrajin selalu menjadi isu serius. Suzuki (2005) dan Nagai, dkk (2011) mengungkapkan bahwa para desainer gagal ketika mereka berupaya memperkenalkan cara berpikir tidak konvensional untuk menginspirasi para pengrajin mengembangkan ide [1, 2]. Para pengrajin merasa tidak mudah dan sangat skeptis dengan konsep-konsep desain yang tidak konvensional. Hal ini terjadi karena perbedaan-perbedaan alam kognisi kreatif yang mempengaruhi proses berpikir desain desainer dan pengrajin. Untuk menyamakan persepsi, kami menggunakan terminologi sebagai berikut:

2. PeLATIHAN DESAIN BAGI INDUSTRI KECIL KERAJINAN DI INDONESIA

Pelatihan Desain adalah kegiatan transfer pengetahuan bagi pengembangan sumberdaya manusia pada industri kecil di berbagai daerah yang diselenggarakan baik oleh lembaga swasta atau pemerintah. Aktivitas pelatihan desain, khususnya ditujukan bagi para pengrajin berupa pelatihan kreativitas untuk pengembangan produk. Deliveri dari kegiatan ini serupa dengan praktek bimbingan atau konsultasi desain di universitas (in-studio type). Tujuan dari pelatihan desain adalah meningkatkan kreativitas pengrajin dalam menghasilkan produk kreatif sehingga diminati oleh pasar (lihat, Gambar 1).

Pihak utama yang terlibat secara langsung dalam kegiatan pelatihan desain adalah (1) pengrajin, seorang pengrajin senior (master craftsperson) yang memiliki keterbatasan dalam pendidikan formal, namun memiliki kemampuan khusus dalam hal keterampilan kerajinan /pertukangan yang didapatkan secara turun temurun. Berikutnya, (2) seorang pelatih desain, (selanjutnya disebut desainer) adalah individu yang memperoleh pendidikan desain secara formal dalam hal desain, (contoh: lulusan desain produk, desain interior dan arsitektur) yang memiliki kemampuan sebagai instruktur dalam sebuah pelatihan desain yang bertujuan mempromosikan kerajinan nasional.

Dalam praktik pelatihan desain umumnya dilaksanakan selama 5 hari (8 jam perhari). Tatacara pelaksanaan disusun sebagai berikut:

a. Sesi I: Pengetahuan Desain Dasar:

    - Elemen dan Prinsip Desain & Creativity Icebreaker kreativitas untuk penyesuaian.

b. Sesi II: Praktik Desain:*

    - Konsep hingga pengembangan

c. Sesi III: 1:1 Workshop prototyping.

    - Mock-up, variasi dan finishing.

Aplikasi Teknik Analisa Jaringan Konsep Asosiatif dalam Pengembangan Metode Pelatihan Desain bagi PengrajinGambar-1 Contoh pelatihan desain kepada perajin Tasikmalaya, (Program PPK IPM Disperindag Jawa Barat) & Diseminasi Produk Teknologi ke Masyarakat (DPTM Kemenristekdikti) (Author, 2007)

3. KOGNISI KREATIF DAN KONSEP ASOSIATIF

Umumnya penelitian di bidang kreativitas lebih banyak terfokus pada peran stimulus dalam mencapai solusi kreatif daripada tentang hambatan dalam kreativitas. Selain stimulus, sebagian kecil penelitian bidang kreativitas mencoba mengidentifikasi dan mencegah timbulnya halangan dalam proses kreatif (mitigation in fixation) [3]. Namun demikian, masih sulit ditemukan penelitian kreatifitas yang mempelajari potensi dari halangan kreatifitas (potential of creativity barrier). Oleh karenanya, tulisan ini memaparkan tentang cara memanfaatkan halangan dalam proses kreatif, khususnya pada individu-individu dengan cara pandang konservatif atau konvensional sebagai penyebab konstruksi mental yang menghalangi kemampuan seseorang dalam mengembangkan ide kreatif. Cara pandang konservatif cenderung menjadi bagian dari kondisi mental pengrajin tradisional. Pendidikan formal desain pada dasarnya memitigasi rintangan kognitif, dan belum ada upaya memahami potensi dalam rintangan kognitif tersebut. Mengakomodasi hambatan kognitif dalam berupa cara pandang konservatif dapat menjad menjadi fitur kurikulum khusus bagi para pengrajin tradisional untuk dapat menghasilkan ide lebih kreatif.

Metode Analisa Jaringan Konsep Asosiatif dapat membantu mengungkap struktur kerumitan koneksi mental atau kesan/ekspresi mendalam manusia (profound understanding) terhadap arketip obyek (mother figure) dalam kaitannya dengan proses konseptualisasi kreatif. Teknik ini menggali kesan/ekspresi yang diperoleh individu melalui ekspresi eksplisit (kata-kata) yang dikalkulasi dengan network analysis dan memanfaatkan basis data kamus makna asosiatif. Teknik ini dinamakan Analisa Jaringan Konsep Asosiatif (Associative Concept Network Analysis) yang kemudian menjadi protokol baru dalam mengkaji kesan/ekspresi mendalam (in-depth impression) individu terhadap obyek. Sensitivitas laten berupa kesan/ekspresi mendalam (in-depth impression) yang sulit terungkapkan secara eksplisit oleh individu dapat dimunculkan dalam wujud struktur jaringan asosiasi kata. Kesan/ekspresi eksplisit (kata-kata) terhadap obyek hanya mengandung kesan awal (surface impression) perlu dianalisis untuk mendapatkan kesan/ekspresi yang tidak terungkap [4].

Dalam proses tahap awal konseptualisasi pada pelatihan desain, ekspresi eksplisit merupakan hasil dari analisa dangkal yang diperoleh dari penafsiran cepat ketika membayangkan produk. Kesan yang mendalam justeru yang mengaktivasi ekspresi eksplisit tersebut (lihat, Gambar 2). Oleh karenanya, dapat disimpulkan ekspresi eksplisit awal beroperasi pada kognisi tahap permukaan. Namun demikian, istilah ekspresi implisit mengacu pada sesuatu yang tidak secara eksplisit dikenali dan diungkapkan (Reingold et al., 2003). Bentuk kognisi mendasar ini mungkin sukar untuk diungkapkan, selanjutnya, hal ini disebut sebagai tahap kogniti yang mendalam (the in-depth cognitive levels) [4, 5, 6].

Kesan atau ekspresi implisit tersirat dalam ekspresi eksplisit yang berhubungan dengan kesan mendalam. Proses tersebut mengandung konsep metaforik yang sangat kaya dan menjadi fitur kunci dari kognisi selama proses desain kreatif (lihat, Gambar 2). Studi-studi lain sebelumnya juga telah menyimpulkan bahwa penggunaan kata-kata yang kaya metafor membentuk dasar dari desain kreatif [7, 8, 9].

Gambar-2 Menangkap kesan mendalam (in-depth impression) dalam kognisi kreatif dengan penggunaan konsep kamus asosiatif.

4. MENGEVALUASI EKSPRESI VERBAL KONSEP KREATIF

Untuk mengevaluasi tingkat kognisi berdasarkan ekspresi subyektif, kami menggunakan teknik Think-Aloud sebagai bagian dari protokol analisis yang menghasilkan laporan lisan dari proses berpikir [10] Subjek diinstruksikan untuk mengekspresikan pengalaman dan pengamatan mereka ketika melakukan proses kreatif tahap awal khususnya guna mengidentifikasi cara pandang yang berbeda (reframing). Pemikiran yang diverbalkan dalam bentuk ekspresi kata-kata mencerminkan aspek-aspek proses kognitif umum yang kemudian dapat diselidiki dengan menggunakan metode jaringan konsep yang didasarkan konsep kamus asosiatif.

Ekspresi individu dalam bentuk ucapan dan makna asosiatif menjadi studi khusus untuk memahami komunikasi. Sebuah kata yang terucap yang merupakan representasi kekayaan dari kata sumber yang tidak terekspresikan secara langsung. Ekspresi kata terbagi menjadi enam sub-jenis: konotatif, kolokatif, sosial, afektif, terefleksi, dan tematik [11]. Ketika sesorang individu mengekspresikan ide secara verbal, maka dalam model mentalnya yang diwujudkan sebagai jaringan konsep (conceptual network) menggambarkan struktur memori sebagai sebuah sistem asosiatif, di mana ide tunggal dapat berisi beberapa makna (polysemous). Sebuah jaringan konsep dapat divisualisasikan melalui model komputasi untuk mereproduksi aspek ekspresi kata-kata yang diamati pada proses rekognisi proses kreatif. Cara ini sangat sesuai untuk menganalisa mengungkap korelasi ekspresi yang tersembunyi di antara konsep-konsep (ekspresi kata). Kamus konsep yang digunakan dalam jaringan konseptual berasal di basisdata University of South Florida-Free Association Norms USF-FAN). Dari sedikit kamus asosiatif yang tersedia di dunia, kamus konsep asosiatif USF-FAN ini adalah kamus dengan kumpulan norma kata terbanyak yang pernah dikumpulkan di Amerika Serikat [12, 13] (lihat, Gambar 3).

Untuk mengembangkan program pelatihan desain yang sesuai dengan kognisi individu sasarannya, maka membandingkan karakteristik konsep asosiatif dalam proses kreatif pengrajin dan desainer dapat memberikan gambaran kelemahan dan potensi.

Partisipan

Delapan subyek terlibat dalam penelitian ini: empat pengrajin senior yang memiliki keahlian khusus dalam kerajinan bambu dan rotan. Empat desainer lulusan dari program desain industri yang memiliki pengalaman sebagai instruktur dalam beberapa program pelatihan desain kerajinan.

Prosedur

Para peserta (pengrajin dan desainer) tidak secara langsung praktek menggambar karena yang perlu diperoleh adalah memahami konsep-konsep asosiatif fundamental. Eksperimen juga menghindari instruksi kaku tentang penentuan tema desain, segmentasi pasar, atau fungsi desain, karena penyediaan informasi yang berlebihan mungkin tidak adil dan membingungkan. Instruksi yang minimal memungkinkan pengamatan terfokus pada pada upaya awal mereka mengalami fase reframing.

Instruksi utama protokol Think-Aloud adalah meminta setiap peserta membayangkan merancang konsep baru keranjang buah/kontainer. Instruksi langsung tercantum di bawah ini:

‘Silakan bayangkan merancang keranjang buah / kontainer.’

‘Silakan bebas mengekspresikan ide yang muncul.’

Tahap protokol Think-Aloud dilakukan secara terpisah dengan masing-masing peserta untuk menghindari pemikiran yang meniru. Seluruh partisipan diberi kebebasan mengekspresikan ide-ide mereka. Tidak ada batas waktu yang dikenakan pada peserta selama percobaan ini. Rata-rata, peserta mengambil sekitar enam menit untuk mengungkapkan imajinasi mereka. Semua prosedur direkam sebagai data verbal yang akan diolah kemudian (lihat, Gambar 3).

Selanjutnya, data ekspresi verbal (kata-kata) tersebut disortir menjadi kata dasar dengan cara menghilangkan beberapa frase seperti kata penghubung, preposisi, kata ganti, serta ekspresi informal atau ungkapan lain yang kurang relevan. Akhirnya, kami transkripsikan data lisan tersebut sehingga terdiri hanya dari kata benda, kata sifat, kata keterangan, dan kata kerja yang ditranslasikan ke dalam bahasa Inggris. Berikutnya, data tersebut divisualisasikan dengan menggunakan network analysis software Pajek 2.05 berdasarkan 2D layer arah Y dengan menerapkan kamus asosiatif USF-FAN sebagai struktur jaringankata asosiatif. Visualisasi menghasilkan jaringan konseptual (struktur kata-kata asosiatif) dengan berbagai nilai asosiasi mulai dari yang rendah hingga yang kata dengan asosiasi tinggi (polysemous) seperti yang ditunjukkan oleh skor Out-Degree Centrality (ODC). Selanjutnya, kami mengidentifikasi nilai dan ragam makana asosiatif jaringan konsep dengan menganalisis hubungan semantik.

Gambar-3 Tahapan identifikasi jaringan konsep dalam proses konseptualisasi kreatif  desainer dan pengrajin dalam eksperimen imajinasi awal mendesain ulang wadah buah.   

4 ANALISIS

Setelah delapan desainer dan pengrajin menyampaikan ekspresi verbalisasi dalam tahap awal konseptualisasi merancang desain baru sebuah wadah buah, maka, dengan menggunakan aturan yang sudah ditetapkan, kami mensortir ratusan kata (ekspresi awal) (lihat, Tabel 1). Kumpulan lkata-kata yang mereka ungkapkan ini disebut sebagai ekspresi eksplisit permukaan, dimana pada proses selanjutnya kita hendak mengungkap ekspresi implisit yang bersifat laten. 

Daftar kata ekspresi eksplisit tersebut kemudian di transfer dalam rumus vector graph dengan mengkalkulasi nilai bobot antara ekspresi eksplisit terhadap stimulusnya yakni ekspresi implisit dari kata tersebut (associative concept) degan system skor Out Degree Centrality (ODC). Sehingga, satu kata yang terucap dalam ekspresi dapat terkoneksi dengan kata-kata lain yang menjadi stimulus munculnya ekspresi eksplisit tersebut. Kata yang menjadi stimulus tersebutlah yang dikategorikan sebagai konsep-konsep asosiatif. Kata-kata konsep asosiatif yang tersusun dalam bentuk struktur jaringan konseptual tervisualisasikan dalam bentuk koneksi antar ribuan node. 

Gambar-3 Jaringan konsep asosiatif dari desainer dan pengrajin yang memperlihakan densitas ekspresi implisit/tak dapat diekspresikan secara lisan (kata-kata dan skor tidak ditampilkan karena kerumitan visualisasi struktur)

Untuk dapat memahami struktur kerumitan jaringan konsep asosiatif dalam model mental, maka kami melakukan metode reduksi sehingga didapatkan struktur jaringan konsep asosiatif yang lebih mudah difahami (lihat, Gambar 4a & 4b). Jelas terlihat, konsep asosiatif pengrajin ketika berimajinasi tentang desain wadah buah, asosiasi mendalamnya ada pada area dengan kategori ‘Shape’ seperti panjang, dada, sudut, badan. Selain itu juga ada pada area dengan kategori ‘Operation’ seperti mengurangi, melekatkan, dls. Sementara, konsep asosiatif bagi desainer ketika berimajinasi tentang wadah buah,  terkategori dalam ‘Scene’ seperti konsep natur, kebiasaan, adat istiadat. Termasuk kategori ‘Appeal’ seperti juice, gaya, manner, dls. 

Gambar-4a Penyederhanaan jaringan konsep asosiatif dari pengrajin ketika berimajinasi tentang desain baru wadah buah

Figure-4b Penyederhanaan jaringan konsep asosiatif dari desainer ketika berimajinasi tentang desain baru wadah buah

Table-2  Identifikasi karakteristik konsep asosiatif

 Untuk menegaskan peran dan pengaruh dari konsep asosiatif dalam proses kreatif, maka langkah berikutnya adalah menganalisisnya dalam bentuk peta relasi semantik. Dengan mengaplikasikan seluruh daftar karakteristik asosiatif tersebut akan dapat divisualkan tendensi cara pandang dan pengelompokannya. Peta semantik dihitung melalui Analisis Faktor yang menampilkan tendensi cara pandang berdasar kelompok sifat dan jenis kata melalui pemetaan orthogonal. Dalam hal ini, tingkat konsep asosiatif dari para pengrajin cenderung berada pada faktor yang terkait dengan ‘Operation’ dan ‘Shape’. Sedangkan konsep asosiatif desainer secara signifikan berada pada faktor-faktor terkait lingkungan yakni ‘Scene’ dan ‘Apeal’. Hal ini sekaligus menunjukkan tingkat kognitif pengrajin selama pendekatan imajinatif cenderung untuk mempersempit cara pandang kepada hal-hal yang dalam jangkaunnya (operasi dan bentuk). Hal ini terjadi karena mereka terkait erat dengan penampilan fisik artefak dan prosesnya, seperti yang ditunjukkan oleh kata-kata stimulus. Sedangkan bagi desainer, pendekatan imajinatif nya mengungkapkan perspektif yang lebih luas, yakni asosiasi kepada faktor terkait ‘Scene’ dan ‘Appeal’ (lihat, Gambar 5).

Gambar-5 Peta relasi semantik

 

Gambar-6 Ilustrasi konsep asosiatif proses kreatif pengrajin dan desainer

dalam berimajinasi merancang desain wadah buah

 

5. EVALUASI PENDEKATAN DALAM DELIVERI PELATIHAN

Sebagaimana ditampilkan melalui struktur jaringan konsep asosiatif dan peta semantic menggunakan Analisis Faktor bahwa semakin tinggi kandungan asosiatif dari kata yang diucapkan berkorespondensi dengan asosiasi yang luas atau berpikir lebih abstrak. Kami menemukan bahwa desainer lebih sering menggunakan kata-kata yang mengandung banyak asosiasi atau polisemi. Demikian sebaliknya dengan pengrajin, mereka terjebak dalam cara pandang  yang familiar dimana menutup kemungkinan untuk berpikir lebih luas. Contohnya kata-kata yang mereka ungkapkan menghasilkan kata asosiatif yang sedikit mengandung polisemi. Hal ini bermakna, jangkauan imajinasi pengrajin dalam membayangkan wadah buah tetap tak bisa terlepas dari sifat fisik dan sistem operasi mengolah artefak tersebut. Bila kita mengkaitkannya dengan  teori Associative Gradient Theory, maka kemampuan berpikir dengan asosiatif yang  rendah (sedikit metaforik) mengarah pada representasi berpikir stereotype yang akan mengurangi kreativitas [14, 15]. Studi lain menyebutkan bahwa polisemi dalam desain dapat berkolerasi dengan orisinalitas. Oleh karenanya kami meyakin bahwa kemampuan desainer dalam menjangkau konsep asosiatif yang kaya telah berhasil mengarahkannya mengakses potensi kreatif dalam berkarya.

Kemampuan desainer berpikir secara lebih abstrak yang dibuktikan dengan ekspresi verbal banyak yang mengandung konsep asosiatif menjelaskan pembayangan mental yang potensial mengakses kreatifitas. Sedangkan pengrajin sendiri mengalami hambatan untuk dapat mengakses konseptualisasi kreatif seperti desainer. Upaya menyiasati hambatan konseptualisasi kreatif pengrajin telah dilakukan dengan memodifikasi tahapan konseptualisasi secara bertahap [16]. Metode yang digunakan dalam mengefektifkan program pelatihan desain bagi pengrajin adalah membaginya menjadi dua tahapan. Tahapan pertama, pengrajin justeru didorong memaksimalkan cara pandang konservatifnya semaksimal mungkin. Selanjutnya, hasilnya dievaluasi oleh pengrajin sendiri untuk memperoleh kata-kata kunci representasi dari produknya. Pada tahapan kedua pelatihan desain, kata-kata kunci digunakan sebagai stimulasi untuk mengembangkan produk.

Pada tahapan ini, metode pelatihan desain ini membuka peluang memanfaatkan stimulant berupa kata-kata tersebut untuk di terapkan dalam wujud produk. Proses ini mengadopsi cara konseptualisasi desainer yang berpikiran lebih abstrak dan kaya akan asosiasi. Dalam proses ini pengrajin dikondisikan melepas dari familiarisasi yang sering mereka terapkan, stimulan kata tersebut menghasilkan asosiasi kata yang luas, sehingga mereka akan merasakan canggung, ketidaknyamanan dalam defamiliarisasi. Dalam metode yang diperkenalkan ini pengrajin mampu melepaskan diri dari fiksasi konsep yang familiar, termasuk aspek tangible atau teknis (yaitu operasi, bentuk, dan proporsi). Berikut adalah, penerapan metode terkini pelatihan desain yang disesuaikan dengan kemampuan kognitif pengrajin yang telah diterapkan dalam pelatihan desain dan pengembangan produk kelom geulis di Tasikmalaya.

 

Tahap 1

Pengrajin kelom geulis didorong untuk mengembangkan desain kelom geulis sesuai ide mereka tanpa ada upaya merubah atau mengarahkan desain sesuai teori prinsip dan lemen visual. Hasilnya adalah berbagai desain kelom yang rumit dan ekstrim dekoratif. Pengrajin diberikan pemahaman bahwa seluruh karya yang mereka hasilkan adalah hasil maksimal konseptualisai kreatif mereka. Pada tahap ini pula pengrajin diminta mengevaluasi desain tersebut, sehingga memunculkan kata-kata kunci seperti: “mudah patah”, “terbalik”, “pecah”. Berbagai kata terpilih tersebut kemudian dipilih sebagai stimulant dalam mendesain kelom di tahap kedua.

 

Tahap 2

Pada tahap ini, pengrajin mengalami rasa canggung, dan tidak nyaman ketika haru megembangkan produk dengan kata kunci “mudah patah”, “terbalik”, “pecah”. Kata-kata yang mereka anggap tidak familiar tersebut representasi dari hasil konseptualisasi pada tahap pertama yang mereka hasilkan sendiri. Selanjutnya mereka berhasil mengembangkan kelom dari kata “hak terbalik” yang justeru mereka akui memiliki keunikan.

Saat pembuatan prototipe desain kelom geulis karya mereka. Dihasilkan produk kelom geulis dengan hak seolah terbalik yan selanjutnya terbukti sukses di pasaran selama beberapa tahun dan telah ditiru oleh banyak peraji lainnya. Metode pelatihan yang dikembangkan ini mampu memperkenalkan keberadaan domain simbolik yang mampu melepaskan dari sudut pandang tradisional / konvensional dan menempatkan pengrajin di jalur yang benar untuk mampu berpikir lebih abstrak dan lepas dari konsep-konsep familiar. (lihat, Gambar 6)

Gambar-6 Model pelatihan desain dua tahap untuk pengrajin tradisional (kiri); hasil penerapannya pasca pelatihan dan pasca 1 tahun setelah pelatihan (kanan)

6. PENUTUP

Sukses dalam penerapan pengembangan metode pelatihan desain bagi pengrajin dengan sudut pandang konservatif membuktikan bahwa pengrajin yang biasanya konsisten dengan nilai-nilai komunal dan  konvensional tetap dapat dikembangkan. Temuan ini bermanfaat sebagai referensi pedagogi dalam program pendidikan pelatihan desain yang bertujuan untuk meningkatkan kognisi kreatif.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Suzuki, N. 2005. Problems and development issues for artisan craft promotion: The effective promotion for regional development in developing countries: Part I, Bulletin of JSSD, Vol. 52 No. 2.
  2. Nagai, Y., Junaidy, D.W., and Ihsan, M. 2012. A creativity gap in design training: A case study of pre and post-design and creativity training for wooden sandal craftsmen in Tasikmalaya, Indonesia. The 59th Annual Conference of JSSD, Sapporo, June 22-24, 2012.
  3. Viswanathan, V., & Linsey, J. 2012. A study on the role of expertise in design â¨fixation and its mitigation. In ASME 2012 International Design Engineering Technical Conferences and Computers and Information in Engineering Conference (pp. 901-911). American Society of Mechanical Engineers.â¨
  4. Georgiev, G. V. and Nagai, Y. 2011. A conceptual network analysis of user impressions and meanings of product materials in design, Materials and Design, Vol. 32 No. 8-9, pp. 4230-42.
  5. Nagai, Y, Georgiev, G. V. and Zhou, Feng. 2011. A methodology to analyze in-depth impressions of design on the basis of concept networks’,  Journal of Design Research, Vol. 9 No. 1, pp. 44-64.
  6. Taura, T., Yamamoto, E., Fasiha, M. Y. N., & Nagai, Y. 2011. Virtual impression networks for capturing deep impressions, Design Computing and Cognition DCC’10’,  in Gero, J.S. (Ed.). Springer, pp. 559-578.
  7. Goldschmidt, G. D, and Tatsa. D, 2005. How good are good idea? Correlates of design creativity, Design Studies, No. 26, pp. 593-611.
  8. Lugt, R van de. 2005. How sketching can affect the idea generation process in design group meetings, Design Studies, 26, pp. 101-122.
  9. Yamamoto, E., Mukai, F., Fasiha, M. Y. N., Taura, T., & Nagai, Y. 2009. A method to generate and evaluate creative design idea by focusing on associative process, Proceedings of the ASME2009. California, USA.
  10. Ericsson, K. A, and Simon, H. A. 1993. Protocol Analysis: Verbal Reports as Data, MIT Press, Cambridge, MA.
  11. Mwihaki, Alice, 2004. Meaning as use: A functional view of semantics and pragmatics, Swahili Forum, No. 11, pp. 127-139.
  12. Nelson, D. L, McEvoy, C.L and Schreiber, T. A. 2004. The university of south florida free association, rhyme, and word fragment norms, Behavior Research Methods, Instruments and Computers, Vol. 36 No. 3, pp. 402-407.
  13. Maki, W.S, and Buchanan, E. 2008. Latent structure in measures of associative, semantic and thematic knowledge, Psychon Bull Rev, Vol. 15 No. 3, pp. 598–603.
  14. Eysenck, H. J. 1997. Creativity and personality, in Runco, Mark A. (Ed.), Creativity Research Handbook, Hampton Press, Cresskill, NJ, No. 1, pp. 41-66.
  15. Martindale, C. 1995. Creativity and connectionism, in Steven, S. M, Ward,  T. B. and Finke, R. F (Eds.). The Creative Cognition Approach, The MIT Press, Cambridge, MA, pp. 249-268.
  16. Junaidy, Deny W., Nagai, Y., Ihsan, M. 2012. Capturing Craftsmen’s and Designers’ Associative Concept at In-depth Level of Cognition at the Early Stage of Idea Generation, Proceeding of Design Symposium 2012, pp. 245-249, Kyoto, Japan, 16-17 October.

 

 

 

 

Tags

About The Author

Deny Willy Junaidy 17
Pensil

Deny Willy Junaidy

Lulus dari Departemen Desain ITB 1999, dan Departemen Arsitektur ITB 2003, kemudian menjadi Mahasiswa Riset di Industrial Design History and Culture Lab., Kyushu University (JP) dan berbagai lembaga akademik lainnya di Asia. Pada tahun 2011-2014 menjadi Visiting Research fellow di Furniture Research Group di Buckinghamshire New University (UK) dan mendapat scientific writing fellowship program di University of California, Davis (US). Gelar Doktor di bidang Design Cognition diperoleh dari Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) pada tahun 2014 (Best student award). Pengalaman bekerja menjadi dosen kontrak di FSRD ITB sejak 1999-2016. Tahun 2011-2014 bersamaan dengan studi doktoralnya juga bekerja sebagai Asisten Peneliti dan Asisten Pengajar Pascasarjana di JAIST melalui Research Promotion Award (RPA). Aktif sebagai tenaga ahli di Kementerian Perindustrian untuk pendampingan desain bagi industri kecil pedesaan sejak 2002. Di tahun 20016, mendirikan Yayasan Apikayu yang fokus dalam konsultasi pengembangan desain industri kerajinan pedesaan. Memperoleh berbagai Design dan Research Award, diantaranya Indonesian Good Design Award (IGDS 2002 dan 2009); finalis International Young Design Entrepreneur Award (British Council IYDEY 2006); Youth CSR Program Award 2009, Filipina (Asia Institute Management), Student Research Bursary Award dari the Design Research Society (DRS) Inggris, 2013, dll
Brain Gain adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Deny Willy Junaidy

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login