Membangun Kemandirian Industri Alat Kesehatan Indonesia: Pengalaman Dari Eropa dan Asia

18 Jan 2017 10:49 7344 Hits 0 Comments
Kondisi Indonesia dengan keberagaman geografis dan sosial ekonominya membutuhkan karakteristik pelayanan kesehatan yang khas pula

3. PENGALAMAN ASIA (Malaysia)

Dalam periode 2010 hingga 2016, penulis berkarir sebagai staf pengajar di Universiti Teknologi Malaysia (UTM), di Faculty of Health Science and Biomedical Engineering, yang sekarang telah berganti nama menjadi Faculty of Biosciences and Medical Engineering. Berbeda dengan TU Delft, UTM tidaklah memiliki teknologi manufaktur dan pemrosesan bahan pada level mikro yang canggih seperti TU Delft. Karena itulah pengembangan alat kesehatan dengan teknologi yang serupa dengan level teknologi di Eropa agak sulit dilakukan. Dalam keterbatasan ini, penulis kemudian memutuskan untuk melakukan riset dan pengembangan alat kesehatan dengan bahan dan teknik pemrosesan yang tersedia melimpah di Asia, yaitu kain katun dan pemrosesannya, khususnya dengan teknik batik. Kami melakukan pengembangan sensor dan alat diagnostik berbasis kain katun. Ada dua jenis sensor diagnostik berbasis kain yang kami kembangkan di laboratorium kami di UTM. Yang pertama adalah sensor diagnostik dengan teknik mikrofluidik untuk diagnostik penyakit secara biokimia [6] (gambar 2, kiri). Yang kedua adalah sensor diagnostik melalui modifikasi kain dengan bahan nano untuk diagnostik penyakit secara elektromekanik [7] (gambar 2, kanan). Beberapa paten [8,9] dan artikel ilmiah [6,7,10-12] terkait alat-alat ini juga telah didaftarkan dan dipublikasi. Uraian berikut ini akan memaparkan situasi yang melatarbelakangi riset-riset kami di Malaysia.

Gambar-2 Diagnostik glukosa dan protein pada urine dengan mikrofluida kain (kiri); Elektrokardiografi dengan baju menggunakan kain yang dimodifikasi dengan Carbon Nanotube (CNT) atau graphene (kanan). Sumber: referensi [6] dan dokumentasi riset.

 

3.1 Kondisi pasar dan industri alat kesehatan Malaysia

Serupa dengan Indonesia, hampir sebagian besar alat-alat kesehatan yang digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan Malaysia, diimpor dari luar negeri, atau diproduksi oleh industri penanaman modal asing. Memang sudah ada beberapa industri lokal yang berusaha sendiri mengembangkan implan gigi atau tulang, namun penulis mendapatkan impresi bahwa penggunaannya belumlah meluas dan kualitas produknya masih di bawah produk impor. Bahkan, untuk alat-alat kesehatan berbasis teknologi rendah menengah, mungkin masih banyak juga yang diimpor (tidak ditemukan data yang pasti). Bandingkan dengan industri di Indonesia misalnya, yang telah mampu membuat, misalnya, tempat tidur pasien yang dapat disesuaikan, atau inkubator bayi. Sekalipun demikian, beberapa institusi pemerintah dan industri Malaysia telah berusaha memproduksi kit-kit diagnostik penyakit menular, misalnya untuk demam berdarah yang prevalensinya tinggi di Malaysia. Masih sedikitnya produksi lokal alat-alat kesehatan bisa dimaklumi mengingat mahalnya biaya pengembangannya. Selain itu, populasi Malaysia yang tidak terlalu besar (sekitar 30 juta jiwa) menjadikan pengembangan alat-alat kesehatan local tidak terlalu atraktif maupun menguntungkan. Kondisi ini tentu bisa berubah di masa-masa mendatang, dengan dimulainya era pasar bebas di level ASEAN maupun secara bilateral, regional (APEC) dan multilateral lainnya (misalnya melalui perjanjian TPP, WTO, dll.). Banyak perusahaan di Malaysia saat ini lebih bergerak sebagai reseller atau distributor dari produk-produk kenamaan alat kesehatan dunia, seperti General Electric, Toshiba, Philips, Siemens, dan lain-lain.

3.2 Riset Rekayasa Biomedis di Malaysia

Riset rekayasa biomedikal di Malaysia, khususnya di kalangan akademisinya baru berkembang pesat setelah dibukanya Faculty of Health Science and Biomedical Engineering di UTM, di tahun 2005. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebelum itu pun telah ada riset terkait biomedis. Dengan usianya yang masih muda itu, riset dan pengembangan alat-alat kesehatan di Malaysia belum memiliki pola khusus tertentu, melainkan masih mengikuti pola penelitian dan pengembangan yang dilakukan akademisi Malaysia secara umum. Secara umum, akademisi di Malaysia melakukan risetnya terpisah dari dunia industri. Biasanya, riset semata-mata berangkat dari kekosongan ilmiah yang dijumpai di literatur-literatur ilmiah. Hal ini wajar karena pada tahun-tahun sekitar 2010-2014, kebijakan pemerintah Malaysia untuk dunia pendidikan tingginya lebih mengejar pada peningkatan angka publikasi ilmiah internasional untuk mengangkat citra Malaysia di dunia riset dan pendidikan tinggi internasional. Hanya pada beberapa tahun terakhir inilah, kira-kira sejak 2014, mulai ada kebijakan untuk mendorong peneliti melakukan risetnya dengan berangkat dari problem yang dijumpai di industri. Khusus untuk rekayasa biomedis, disebabkan masih sedikitnya jumlah industri yang berkecimpung dalam pengembangan alat-alat kesehatan, pendekatan ini pun masih belum bisa mendongkrak peningkatan riset pengembangan alat kesehatan lokal di Malaysia, setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat.

3.3 Peranan Industri Lokal

Seperti telah disebutkan di atas, masih amat sedikit industri lokal Malaysia yang bergerak secara aktif dalam pengembangan alat-alat kesehatan yang berpijak pada problem-problem kesehatan nyata di masyarakat Malaysia. Hal ini karena mahalnya biaya penelitian pengembangan produk biomedikal, serta relatif kecilnya pasar Malaysia. Karena itu, kebanyakan industri terkait alat kesehatan di Malaysia hanya memasarkan produk luar negeri, atau merakit modul luar negeri. Sekalipun demikian, akhir-akhir ini muncul beberapa perusahaan dan industri baru, misalnya Synbone Sdn. Bhd., yang memiliki idealisme memproduksi alat kesehatan atau pendidikan kesehatan berbasis biomaterial. Melihat kondisi seperti ini, memang agak sulit untuk mengajak partisipasi industri lokal Malaysia dalam pengembangan produk alat kesehatan. Kebanyakan industri takut untuk mengambil resiko jangka panjang yang memang terkait dengan pengembangan alat-alat kesehatan baru. Bahkan, sekalipun beragam insentif pendanaan ditawarkan pemerintah Malaysia untuk inovasi teknologi secara umum, seperti yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya, partisipasi industri kesehatan Malaysia dalam pengembangan alat kesehatan baru masih minim. Apalagi, kebanyakan dari inisiatif inovasi ini berangkat dari dunia akademisi yang relatif terpisah dari dunia industri Malaysia. Industri biasanya baru diajak berdiskusi ketika suatu purwarupa (prototype) telah dihasilkan. Padahal, belum tentu purwarupa tersebut dihasilkan dari suatu riset yang berpijak pada problem nyata yang dihadapi industri terkait. Sejak kurang lebih dua tahun terakhir, pemerintah Malaysia berusaha menyelesaikan dilema ini dengan mengadakan inisiatif Public-Private Research Network workshop, untuk mempertemukan industri yang memiliki problem nyata dalam proses produksi mereka dengan kaum akademisi dan peneliti. Selain itu, seperti akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya, sejak beberapa tahun lalu, pemerintah Malaysia juga membuka CREST (Collaborative Research in Engineering, Science & Technology) Open R&D Grant dengan model inovasi terbuka serupa dengan proyek STW di Belanda. Proyek-proyek CREST sementara ini berfokus pada sektor teknik elektro (Electrical Engineering) karena ekosistemnya telah wujud di daerah Pulau Penang dan Kedah. Walaupun minat pengembangan ke alat-alat biomedis ada, bahkan cukup besar, kesuksesan penerapan model inovasi terbuka ini bagi pengembangan alat-alat kesehatan baru di Malaysia, masih perlu dibuktikan di masa-masa mendatang.

3.4 Insentif Pemerintah

Di tahun-tahun awal penulis berada di Malaysia, sekitar 2010 – 2014, fokus riset di Perguruan Tinggi Malaysia adalah untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah institusi Malaysia di penerbitan internasional, dan belum untuk pengembangan produk-produk baru tertentu. Karena itulah, berbagai skema dana penelitian lebih ditargetkan untuk menghasilkan pengetahuan saintifik baru yang dapat dipublikasi di jurnal berlevel internasional. Berbagai skema dana ini antara lain Fundamental Research Grant Scheme (FRGS untuk penelitian dasar), Exploratory Research Grant Scheme (ERGS untuk penelitian eksploratori). Selain itu, beberapa universitas yang telah mendapatkan status perguruan tinggi riset (Research University RU) memiliki dana penelitian internal yang juga memiliki semangat serupa untuk meningkatkan jumlah publikasi internasional dan pendidikan pasca sarjana. Apabila penelitian itu telah menghasilkan suatu proof of concept, pemerintah menyediakan skema PRGS – Prototype Research Grant Scheme, untuk pembuatan prototipenya. Selain skema-skema yang disediakan Kementerian Pendidikan Tinggi ini, pemerintah Malaysia, melalui Kementerian Sains, Teknologi dan Inovasi (MOSTI) juga menyediakan skema E-Science untuk membantu penelitian terapan. Selain itu, ada pula TechnoFund, suatu skema pendanaan yang mengharuskan peneliti bekerja sama dengan industri tertentu. Menilik skema-skema ini, dapat dikatakan bahwa perbedaan utama kasus Malaysia dengan Belanda, adalah pendanaan proyek penelitian di Malaysia dilakukan tidak terintegrasi dan lebih bersifat sektoral. Industri tidak dilibatkan pada masa-masa awal suatu inovasi dilahirkan. Dalam pengalaman penulis, ketika mengajukan proposal untuk skema-skema MOSTI, peneliti sudah diwajibkan memiliki purwarupa yang fungsional dari idenya. Padahal purwarupa ini belum tentu sesuai dengan kebutuhan industri terkait, karena purwarupa itu dihasilkan dari proyek penelitian sebelumnya yang lebih berorientasi pada kontribusi saintifik, bukan sosial ekonomi. Barulah, pada beberapa tahun terakhir, kurang lebih sejak 2014, pemerintah Malaysia melalui Kantor Perdana Menteri dan Unit Perencanaan Keuangan (Economic Planning Unit-EPU) mulai mengadakan skema baru yang disebut CREST, singkatan dari Collaborative Research in Engineering, Science and Technology. CREST memanfaatkan ekosistem industri elektro yang sudah mapan di Pulau Penang dan Kedah, serta mengadopsi konsep inovasi terbuka (Open Innovation), di mana hak cipta yang dihasilkan suatu proyek penelitian terapan akan dimiliki oleh yayasan CREST, dan boleh dilisensi secara non-eksklusif oleh pihak-pihak yang bekerja sama dalam pengembangannya maupun pihak lain yang berminat. Selain itu, sejak awal perumusan proyek, industri, akademisi, pengguna akhir (end user) dan yayasan CREST sendiri dilibatkan secara aktif untuk memutuskan arah tujuan proyek tersebut. Secara singkat dapat dikatakan skema CREST ini serupa dengan skema STW di Belanda. Di luar skema-skema yang telah disebutkan ini, sebetulnya masih ada banyak lagi beragam insentif yang diberikan pemerintah Malaysia untuk memicu perkembangan industri dengan teknologi baru. Hanya saja belum ada skema khusus untuk sektor alat kesehatan. Dan hingga saat ini, nampaknya insentif-insentif ini belum cukup terbukti berhasil mendorong kemandirian industri alat kesehatan di Malaysia.

3.5 Malaysia Medical Devices Act dan Medical Devices Authority Act

Khusus untuk pengembangan alat-alat kesehatan, Malaysia sejak 2012 mulai pula memberlakukan Medical Device Act (Act 737) atau Undang-undang Alat Kesehatan, dan membentuk Otoritas Alat Kesehatan (Medical Device Authority) untuk menjadi badan regulator dalam standarisasi alat kesehatan dan pengembangannya. Undang-undang ini ditulis dan dibentuk setelah Malaysia turut dalam keanggotaan International Conference on Harmonisation (ICH), suatu proyek multilateral internasional yang mengumpulkan otoritas regulator farmasi dan alat kesehatan dari beberapa negara, seperti Jepang, Eropa dan Amerika Serikat, untuk menstandarisasi peraturan-peraturan yang terkait pengembangan dan pengendalian kualitas, keselamatan dan keefektifan obat-obat atau alat-alat kesehatan baru. Aturan-aturan yang diputuskan bersama di ICH menjadi dasar penetapan aturan serupa oleh misalnya FDA di Amerika Serikat, dan kini MDA di Malaysia. Dengan undang-undang ini pula, alat-alat kesehatan yang dibuat dengan standar MDA di Malaysia, dapat dipasarkan dan disertifikasi di negara-negara lain peserta ICH. Di satu sisi, aturan ini memang bermaksud menjaga kualitas alat-alat kesehatan yang dikembangkan maupun diperjualbelikan. Di sisi lain, bagi industri kecil, pemberlakuan undang-undang ini membuat pengembangan alat kesehatan baru menjadi lebih mahal.

 

4. STRATEGI KEMANDIRIAN INDUSTRI ALAT KESEHATAN INDONESIA

Bagaimana dengan kondisi kemandirian alat kesehatan Indonesia? Apa yang dapat kita pelajari dari kasus-kasus pengembangan alat-alat kesehatan di Eropa maupun di negara tetangga kita, Malaysia? Nampak bahwa kondisi industri kita kurang lebih serupa dengan Malaysia. Namun, dalam beberapa hal, Indonesia memiliki potensi dan kondisi yang lebih baik dari negara tetangga kita tersebut. Walaupun industri kesehatan kita belum mampu memproduksi alat-alat kesehatan berteknologi tinggi, setidaknya kita telah memiliki beberapa industri asli Indonesia yang berusaha melakukan sendiri manufaktur, bahkan riset dan pengembangan, alat kesehatan secara mandiri, walaupun pada level teknologi yang belum terlalu tinggi. Selain itu, populasi Indonesia yang cukup besar, sekitar 250 juta manusia, adalah suatu alasan kuat untuk menjustifikasi pengembangan alat kesehatan yang berpijak dari kebutuhan pasar yang besar ini. Demikian pula dengan kondisi akademisi Indonesia. Sudah sejak cukup lama, beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah aktif dalam pengajaran maupun penelitian biomedis, misalnya Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan riset EKG-nya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) dengan piranti lunak pemrosesan citra medis, Universitas Gajah Mada (UGM) dengan riset implan berbasis logam, Universitas Airlangga (Unair) dengan riset biomaterial, dan Swiss German University (SGU) sebagai universitas swasta pertama di Indonesia yang menawarkan program studi teknik biomedis. Artinya, Indonesia sebenarnya sudah memiliki modal kekuatan dasar dari aspek industri maupun akademisi, untuk membangun kemandirian industri alat kesehatannya. Lantas, apa lagi yang diperlukan? Berikut ini akan diberikan beberapa masukan berdasarkan pengalaman yang telah dipaparkan pada bagian sebelum ini.

4.1 Kondisi Industri Alat Kesehatan Indonesia

Seperti telah disebutkan sebelumnya, walaupun sebagian besar alat kesehatan yang ada di pasar Indonesia masih diimpor dari luar negeri, namun kita telah memiliki beberapa industri lokal alat kesehatan. Keberadaan industri-industri ini adalah suatu potensi besar untuk pengembangan berikutnya. Kita dapat meniru pola STW Belanda, ataupun CREST Malaysia, dengan mengikutsertakan industri yang ada sejak dari awal, untuk merumuskan proyek-proyek pengembangan alat kesehatan asli Indonesia yang berpijak dari problem-problem kesehatan Indonesia. Dalam hal ini, industri alat kesehatan yang telah ada ini, perlu mengubah pola pikirnya untuk mulai merencanakan inovasi yang mesti dilakukan untuk keunggulan jangka panjang industri mereka dan untuk tidak sekedar berpuas diri dengan pencapaian penjualan yang ada di masa sekarang. Untuk melakukan inovasi jangka menengah dan panjang ini, industri alat kesehatan yang ada perlu secara aktif mengajak pihak akademisi Indonesia dalam proses litbangnya, baik secara langsung maupun dengan fasilitasi pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan atau Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

4.2 Transparansi Aturan dan Regulasi

Salah satu hambatan yang ada untuk pengembangan industri alat kesehatan baru, khususnya bagi pemain baru atau industri kecil dan menengah, adalah ketidakjelasan atau malah ketiadaan peraturan yang jelas yang mengatur dan mengawal proses pengembangan alat kesehatan. Biasanya, pengembangan alat kesehatan memerlukan uji in vitro, uji pra-klinikal dan uji klinikal agar keefektifan dan keselamatannya dapat diketahui. Kasus pengembangan Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) oleh Dr. Warsito yang digantung akhir-akhir ini [13] oleh Kementerian Kesehatan, terjadi karena sedari awal pengembangannya, aturan yang mengatur penelitian alat kesehatan belum ada. Adalah baik, jika, belajar dari Malaysia, Indonesia segera meratifikasi aturan-aturan pada International Conference on Harmonisation (ICH) dan segera mengesahkan undang-undang Alat Kesehatan. Dengan begitu, aspek-aspek keselamatan, keamanan dan keefektifan suatu alat kesehatan dapat dijaga sejak awal pengembangannya. Lebih dari itu, hal ini juga akan menjamin keterpasaran produk tersebut di negara-negara lain yang meratifikasi ICH.

4.3 Kerjasama Erat Insinyur dan Praktisi Kesehatan dengan Fasilitasi Pemerintah

Walaupun dana penelitian telah banyak dikucurkan pemerintah, namun nampaknya pola pengucuran dana itu masih serupa dengan yang terjadi di Malaysia. Proyek penelitian alat kesehatan masih sporadis, dan berangkat dari ide peneliti semata, tanpa koordinasi dengan industri dan praktisi kesehatan yang ada, meski banyak pula ada pengecualian kasus. Mengingat pentingnya sektor ini untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan Millenium (MDG) Indonesia, khususnya pada aspek kesehatan, adalah baik jika Indonesia, melalui Kementrian Kesehatan dan Kementerian Riset Dikti, merumuskan targeted research areas, area-area riset yang disasar untuk menjadi target utama pengembangan alat kesehatan baru yang murah dan sesuai dengan kondisi Indonesia. Penentuan targeted research areas ini meniru metode yang dilakukan CREST, Malaysia. Selanjutnya, melalui lembaga pemerintah yang ada, misalnya BPPT, pemerintah dapat meniru pola proyek STW Belanda, dengan mengumpulkan akademisi, praktisi kesehatan (Ikatan Dokter Indonesia, IDI, misalnya) dan industri kesehatan terkait di satu meja untuk merumuskan peta jalan pengembangan alat kesehatan tertentu. Penglibatan praktisi kesehatan sebagai pengguna akhir, sejak dini, dapat mempermudah akses kepada pasien untuk uji pra-klinikal maupun klinikal, yang memang amat penting pada pengembangan alat kesehatan baru yang efektif dan aman.

4.4 Insentif Permodalan

Bila suatu konsorsium penelitian dan pengembangan alat kesehatan tertentu telah dibentuk, beberapa insentif dapat diberikan pemerintah. Dana penelitian dapat diberikan pemerintah untuk membiayai penelitian awal, pembuatan purwarupa, uji pra-klinikal hingga uji klinikal. Hal ini diperlukan karena keseluruhan mata rantai pengembangan ini memerlukan waktu yang tidak sedikit. Insentif lain, dapat berupa deduksi pajak bagi industri alat kesehatan yang telah berperan aktif dalam konsorsium pengembangan alat kesehatan yang dibentuk pemerintah. Bagi peneliti sendiri, perlindungan hak cipta, serta penjaminan hak mendapatkan sebagian keuntungan berupa royalti dari hak cipta yang dilisensi, hal ini akan mendorong mereka untuk lebih giat melahirkan inovasi-inovasi baru tanpa khawatir ide atau karyanya dibajak akademisi lain atau industri kesehatan yang terlibat.

4.5 Industri Gaya Hidup

Selain pentingnya kemandirian pengadaan alat-alat kesehatan, penulis mengingatkan pula akan munculnya peluang ekonomi besar pada produk-produk gaya hidup, seperti jogging tracker, wearable heart beat counter, yang meskipun memiliki aspek pengembangan seperti produk biomedik alat kesehatan, rantai pengembangannya tidaklah selama dan sepanjang alat kesehatan untuk terapi. Industri maupun peneliti alat kesehatan kita perlu memanfaatkan peluang ini dengan memulai proyek-proyek pengembangannya.

4.6 Budaya Inovasi

Semua usaha dan insentif yang telah dijelaskan di atas, sebetulnya hanyalah berfungsi sebagai alat untuk membudayakan inovasi di segenap pemegang saham kemandirian alat kesehatan: akademisi dan peneliti, industri alat kesehatan, praktisi kesehatan sebagai pengguna akhir alat kesehatan, serta pemerintah sebagai regulator dan fasilitator kemandirian pengadaan alat kesehatan dalam negeri. Bila melakukan inovasi sudah menjadi budaya di negeri ini, kerja sama pengembangan alat kesehatan yang baru dan berpijak pada kebutuhan nyata masyarakat Indonesia, tentu dapat dilakukan secara otomatis. Realitanya adalah hal tersebut belum terjadi. Perlu usaha-usaha terukur secara sistematis dan dalam jangka waktu tertentu untuk membudayakan inovasi, baik melalui cara-cara yang telah disebutkan di atas, maupun cara-cara lain yang lebih mendalam dalam proses pendidikan kita.

5. KESIMPULAN

Pembangunan kemandirian industri alat kesehatan Indonesia, bukanlah sesuatu yang dilakukan sekedar sebagai mode atau gaya untuk mengikuti apa yang terjadi di negara-negara maju atau negara-negara tetangga kita. Besarnya populasi Indonesia, dengan keberagaman masalah kesehatannya, menjadikan kemandirian pengadaan alat kesehatan sebagai suatu keharusan untuk menjamin ketahanan sosial ekonomi bangsa dan Negara Indonesia.

Aturan yang jelas pada level Undang-undang perlu segera dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Riset Dikti dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengatur dan mengawal secara transparan proses pengembangan dan pengadaan alat-alat kesehatan di Indonesia.

Demikian pula, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Riset Dikti perlu mengadakan konsorsium dan skema pendanaan proyek pengembangan alat kesehatan yang terpadu, dengan mengikutsertakan akademisi insinyur peneliti, pengguna klinikal (dokter dan tenaga kesehatan) serta industri alat kesehatan, dan mungkin industri asuransi sebagai pemeran utama pada konsorsium-konsorsium pengembangan alat kesehatan tertentu. Manajemen dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah non departemen yang telah ada, misalnya BPPT atau LIPI, atau dengan membentuk otoritas baru. Model pengelolaan konsorsiumnya dapat meniru model inovasi terbuka seperti dilakukan STW, Belanda, ataupun CREST, Malaysia.

Dalam jangka panjang, kita berharap bahwa inovasi dapat menjadi budaya inheren pada segenap pemegang peranan pengembangan industri alat kesehatan di Indonesia.

 

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Prof. Paddy French, Prof. Jenny Dankelman, Prof. Paulus Breedveld, dan Dr. Eduardo Margallo-Balbas yang telah menjadi kolega penulis dalam proyek pengembangan integrasi mikro-optik pada mesin bor gigi untuk pencitraan OCT di TU Delft, Belanda, pada periode 2008-2010. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada kolega, staf dan mahasiswa penulis di Faculty of Biosciences and Medical Engineering, Universiti Teknologi Malaysia (UTM) yang telah bersama-sama secara langsung maupun tak langsung bekerja sama dalam pengembangan alat-alat kesehatan berbasis kain katun ketika penulis berkarir di UTM, pada 2010-2016.

 

DAFTAR PUSTAKA

[1] Mursid, F., Hafil, M. (ed.), 2016, “Produk Impor Kuasai Alat Kesehatan di Indonesia”, Republika Online, Jumat, 18 November 2016, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/11/18/ogtuat326-produk-impor-kuasai-alat-kesehatan-di-indonesia, dibaca pada 3/1/2017.

[2] Drexler, W., Fujimoto, J. G., 2008. Optical coherence tomography: technology and applications, Springer Science & Business Media.

[3] Geljon, M., Margallo-Balbás, E., Pandraud, G., Wicaksono, D.H.B., and French, P.J., 2010, Time-Domain Optical Coherence Tomography System with Integrated Delay Line for Surgical Guidance Applications, in Proceedings of 32nd Annual Int’l Conference of the IEEE Engineering in Medicine and Biology Society (EMBS) 2010, Brazil, pp. 3017-3020.

[4] Wicaksono, D.H.B., Margallo-Balbás, E., Pandraud, G., French, P.J., Breedveld, P., and Dankelman, J., 2010, Micro-Optics Assembly in Dental Drill as a Platform for Imaging and Sensing during Surgical Drilling, in Proceedings of IEEE Sensors 2010, November 2010, Hawaii, USA, pp. 265-268.

[5] Margallo, B. E., Wieringa, P. A., French, P. J., Lee, R. A., Breedveld, P., 2007, Surgical drill system and surgical drill bit to be used therein, European Patent Application, EP1741394 A1.

[6] Nilghaz, A., Bagherbaigi, S., Lam, C.L., Mousavi, S.M., Cá½¹rcoles, E.P., and Wicaksono, D.H.B., 2015, Multiple semi-quantitative colorimetric assays in compact embeddable microfluidic cloth-based analytical device (μCAD) for effective point-of-care diagnostic, Microfluidics and Nanofluidics, Vol. 19 (2), pp. 317-333.

[7] Lam, C.L., Rajdi, N.N.Z.M., and Wicaksono, D.H.B., 2013, MWCNT/Cotton-Based Flexible Electrode for Electrocardiography, in Proceedings of IEEE Sensors 2013, Baltimore, Maryland, USA, pp. 222-225.

[8] Wicaksono, D.H.B., Nilghaz, A., and Abdul-Majid, F.A., 2013 Cloth-based Microfluidic Devices and Method of Fabricating the Same, Malaysian Patent Application PI 2013 701254.

[9] Wicaksono, D.H.B., and Lam, C.L., 2014, Textile-Based Electrode Sensor for Electrocardiography, Malaysian Patent Application PI 2014 700636.

[10] Nilghaz, A., Wicaksono, D.H.B., Gustiono, D., Abdul Majid, F.A., Supriyanto, E. and Abdul Kadir, M.R., 2012, Flexible Microfluidic Cloth-based Analytical Devices Using Low-Cost Wax Patterning Technique, Lab on a Chip, Vol. 12, no. 1, pp. 209-218.

[11] Malon, R.S.P., Chua, K.Y., Wicaksono, D.H.B., and Cá½¹rcoles, E.P, 2014, Cotton Fabric-based Electrochemical Device for Lactate Measurement in Saliva, Analyst, Vol 139, no. 12, pp. 3009-3016.

[12] Yuen, A.C., Bakir, A.A., Rajdi, N.N.Z.M., Lam, C.L., Saleh, S.M., and Wicaksono, D.H.B>, 2014, Proprioceptive Sensing System for Therapy Assessment Using Cotton Fabric-Based Biomedical Micro Electro Mechanical System, IEEE Sensors Journal, Vol. 14, No. 8,  pp. 2872-2880.

[13] Sativa, R.L., 2016, “Februari: Rompi Antikanker Ciptaan Warsito Dianggap Belum Jelas Manfaatnya”, Detik Health, Selasa, 20/12/2016, https://health.detik.com/read/2016/12/20/115923/3375862/763/februari-rompi-antikanker-ciptaan-warsito-dianggap-belum-jelas-manfaatnya, diakses pada 9/1/2017.

 

Tags

About The Author

Dedy Hermawan Bagus Wicaksono 16
Pensil

Dedy Hermawan Bagus Wicaksono

Setelah menyelesaikan studi sarjananya di jurusan Teknik Fisika, ITB, Bandung, di tahun 1998, Dedy mengembara ke Jepang, dan bekerja paruh waktu di Suruga Seiki Shimizu, suatu perusahaan manufaktur komponen mekanik. Pekerjaan ini dilakukannya sambil belajar bahasa Jepang. Di tahun 1999, ia menjadi mahasiswa pasca sarjana non-gelar di Tokyo Institute of Technology, pada bidang rekayasa bioinformasi di bawah bimbingan Prof. Masuo Aizawa dan Prof. Eiry Kobatake. Studi Master ia selesaikan pada tempat yang sama pada periode 2000-2002 dengan tesis tentang pengenalan ikatan DNA-protein pada level molekul tunggal menggunakan mikroskop gaya atom (AFM). Pengembaraannya berlanjut ke Belanda, ketika Dedy memutuskan melanjutkan studi doctoralnya di Technische Universiteit Delft, Belanda, pada 2003, dengan topik penelitian tentang Bio-inspired Sensors. Ia menyelesaikan studi doktoralnya pada tahun 2008. Ia kemudian melanjutkan karirnya sebagai peneliti pasca-doktoral di Universitas yang sama, untuk mengembangkan integrasi optomekanika lensa mikro pada mesin bor gigi untuk melakukan pencitraan optical coherence tomography. Proyek ini dilakukan secara terpadu bersama-sama ilmuwan kedokteran gigi dari Universitas Groeningen, beserta industri mata bor gigi dan ahli-ahli dari departemen lain di TU Delft, dengan suntikan dan koordinasi dana dari pemerintah Belanda, yang diwakili STW (Stichting voor de Technische Wetenschappen). Di tahun 2010, Dedy memutuskan untuk berpindah ke Asia Tenggara, dan memulai karirnya sebagai pengajar dan peneliti di Universiti Teknologi Malaysia (UTM), di Faculty of Health Science and Biomedical Engineering, yang kemudian berubah nama menjadi Faculty of Biosciences and Medical Engineering. Dedy mengajar dan meneliti serta mengembangkan alat-alat biomedis, khususnya untuk aplikasi diagnostik, baik secara biokimia maupun secara elektromekanis. Di sini ia menemukan dan mengembangkan alat diagnostik berbasis kain. Pada tahun 2016, ia memutuskan untuk kembali ke tanah air, dan menjadi staf dosen di Dept. of Biomedical Engineering, Faculty of Life
Brain Gain adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Dedy Hermawan Bagus Wicaksono

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login