Membangun Kemandirian Industri Alat Kesehatan Indonesia: Pengalaman Dari Eropa dan Asia

18 Jan 2017 10:49 7841 Hits 0 Comments
Kondisi Indonesia dengan keberagaman geografis dan sosial ekonominya membutuhkan karakteristik pelayanan kesehatan yang khas pula

ABSTRAK

Kondisi Indonesia yang khas, dengan lebih dari 250 juta populasinya serta keberagaman geografis dan sosial ekonominya membutuhkan karakteristik pelayanan kesehatan yang khas pula. Hal ini hanya dapat terwujud sepenuhnya, bila alat-alat kesehatan yang menunjangnya dapat secara mandiri dibuat dan dikembangkan di Indonesia. Sayangnya, hingga lebih dari 70 tahun kita merdeka, Indonesia masih bergantung pada produk-produk alat kesehatan luar negeri. Strategi dan langkah apa saja yang bisa kita lakukan di Indonesia untuk segera mendorong kemandirian industri alat kesehatan? Pada tulisan ini, akan dipaparkan pengalaman penulis terlibat dalam pengembangan alat kesehatan baru di Eropa (Belanda) dan di Asia (Malaysia). Akan dijelaskan peranan berbagai pihak terkait: industri kesehatan, akademisi peneliti, praktisi kesehatan, dan lembaga pemerintah, dalam proyek-proyek pengembangan alat kesehatan baru. Selanjutnya, akan dibahas pula kelebihan dan kekurangan yang didapati penulis dalam pelaksanaan proyek-proyek pengembangan alat kesehatan di kedua negara tersebut. Akhirnya, penulis mencoba mengekstrapolasi pengalaman-pengalaman tadi untuk mengemukakan strategi-strategi yang sesuai dengan kondisi Indonesia dalam memajukan kemandirian industri alat kesehatannya. Kunci utama adalah pembudayaan inovasi. Untuk mencapai budaya inovasi ini, penulis mengusulkan beberapa hal yang dapat dilakukan pihak regulator pemerintah dalam mendorong para pemegang peran lainnya untuk memajukan pengembangan alat kesehatan khas Indonesia.

Kata kunci: Industri Alat Kesehatan, Biomedis, Budaya Inovasi, Kemandirian

1. PENDAHULUAN

Kondisi kesehatan Indonesia. Indonesia dengan populasinya yang kini mencacah lebih dari 250 juta orang membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Dengan diterapkannya Jaminan Kesehatan Nasional melalui keikutsertaan wajib pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) sejak beberapa tahun ini, pelayanan kesehatan tentu diharapkan makin membaik. Kualitas pelayanan kesehatan ini bergantung pada beberapa faktor: ketersediaan dan pemerataan tenaga pelayanan kesehatan yang berdedikasi dan terlatih, ketersediaan prasarana fasilitas kesehatan hingga ke pelosok Indonesia, serta ketersediaan alat dan instrumentasi kesehatan yang berkualitas dalam jumlah yang memadai.

Menilik aspek terakhir, yaitu ketersediaan alat dan instrumen kesehatan berkualitas yang memadai, patut disyukuri bahwa Kementerian Kesehatan memiliki kebijakan yang mendukung tersedianya peralatan kesehatan yang bersumber dari industri dalam negeri Indonesia sendiri. Harus diakui bahwa sebagian besar alat kesehatan Indonesia masih harus diimpor dari luar negeri [1]. Walaupun sudah ada lebih dari 200 industri alat kesehatan yang mampu memenuhi kebutuhan alat kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia [1], kebanyakan industri ini masih memiliki teknologi intinya pada level teknologi rendah atau menengah, atau mengimpor modul jadi dari luar negeri untuk kemudian dirakit menjadi instrumen utuh di dalam negeri. Tentunya bukan ini yang kita kehendaki. Kita menginginkan agar sedapat mungkin alat-alat kesehatan tersebut  memiliki setinggi mungkin tingkat kandungan komponen dan manufaktur dalam negeri. Tujuannya agar, pertama, pengadaan alat-alat kesehatan itu dapat memberikan nilai tambah setinggi mungkin bagi perekonomian Indonesia, khususnya dalam penghematan devisa dan terbukanya lapangan ekonomi baru. Yang kedua, yang mungkin justru lebih penting dari sisi kesehatan, adalah alat-alat kesehatan yang ada betul-betul sesuai dengan kebutuhan kesehatan dan spesifikasi teknis maupun ekonomis penggunanya di Indonesia. Karena kondisi inilah, perlu dilakukan usaha-usaha yang lebih terstruktur dan sistematis untuk membangun kemandirian alat kesehatan di dalam negeri.

Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mencoba belajar dari beberapa pengalaman penulis ketika terlibat dalam pengembangan alat kesehatan di Eropa, khususnya di Belanda, dan di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia. Penulis akan menguraikan sisi-sisi positif maupun negatif pengembangan alat biomedis di kedua negara tersebut, dan pelajaran yang bisa diambil untuk pengembangan alat biomedis di Indonesia menuju kemandirian industri dan pengadaan alat kesehatan di Indonesia.

2. PENGALAMAN EROPA

Di tahun 2008-2010, sebagai peneliti pasca-doktoral, penulis pernah terlibat dalam proyek pengembangan integrasi sensor mikro-optik ke dental drill-bit, atau mata bor gigi (gambar 1). Penulis sendiri lebih fokus pada desain mekanis mata bor gigi baru yang dapat memuat lensa mikro GRIN (Gradient Index) ke ujung mata bor dengan integrasi serat optik untuk melintaskan cahaya ke dalam sistem mata bor. Cahaya yang berasal dari sumber pita lebar berintensitas tinggi, seperti Super Luminescent Diode (SLD), akan melalui sistem mata bor yang sudah terintegrasi dengan lensa GRIN dan serat optik di dalamnya. Cahaya ini akan ditransmisikan ke jaringan gusi di depan mata bor. Hamburan cahaya yang terpantul oleh jaringan di depan mata bor akan ditangkap kembali oleh sistem integrasi mata bor mikro optik ini, untuk direkonstruksi menjadi citra jaringan gusi. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan mengintroduksi waktu tunda (delay time) pada sinyal cahaya yang dimodulasi, dengan menggunakan prinsip Tomografi Koheren Optikal (Optical Coherence Tomography-OCT [2]). Untuk lebih detailnya, pembaca dapat mengacu ke ref. [2,3] tentang prinsip OCT, dan pada ref. [4] tentang integrasi mikro optik pada sistem mekanik mata bor. Proyek ini sendiri mengikutsertakan hampir semua pihak yang berkepentingan untuk pembuatannya: dokter gigi sebagai pengguna (user), industri mata bor dan mesin bor gigi, akademisi peneliti, serta pemerintah yang diwakili oleh yayasan pengembangan teknologi Belanda (STW) sebagai fasilitator dan penyandang dana utama. Berikut ini peran masing-masing pihak akan dijelaskan secara singkat.

Membangun Kemandirian Industri Alat Kesehatan Indonesia: Pengalaman Dari Eropa dan AsiaGambar-1 Skema pencitraan jaringan gusi dengan mata bor dan integrasi mikro optik dengan teknik OCT (kiri); foto karakterisasi sistem bor gigi dengan mikro optik untuk OCT (kanan).

Sumber: Referensi [4] dan koleksi dokumentasi pribadi.

2.1 Peran serta Industri

Dalam proyek ini, sejak tahap penyusunan proposal, industri yang terkait dalam pembuatan sistem sudah dimintai pendapatnya, bahkan partisipasinya. Tercatat empat industri dari Belanda dan Spanyol dilibatkan dalam proyek OCT bor gigi ini, antara lain tiga industri pembuat bor maupun mata bor gigi dari Belanda dan Spanyol, serta satu industri pembuat sumber cahaya SLD dari Spanyol. Industri-industri ini diminta pula untuk berkontribusi secara langsung pada terlaksananya proyek, baik berupa dukungan finansial langsung, maupun dukungan sejenis berupa penyediaan material penelitian, serta konsultasi secara gratis bagi pelaksanaan proyek. Selain itu, secara berkala, wakil-wakil dari industri ini diminta untuk hadir pada presentasi kemajuan proyek setiap semester. Dengan begitu, mereka dapat memberikan input secara langsung bagi jalannya proyek riset yang dijalankan. Bagi industri, ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Secara langsung, mereka dapat memperoleh deduksi pajak atas sumbangan finansial atau material yang diberikan untuk berlangsungnya proyek. Dan dalam jangka panjang, mereka pun dapat memperoleh prospek produk yang dapat dikembangkan untuk menjamin kepemimpinan pasar mereka.

2.2 Peran serta akademisi sebagai peneliti

Akademisi di sini adalah peneliti dan pengembang yang memiliki peran kunci sebagai pelaku utama riset dan pengembangan dalam proyek yang dilakukan. Tercatat ada tiga akademisi selevel Professor dan Associate Professor dari TU Delft yang terlibat langsung dalam proyek. Mengingat karakter multidisiplin proyek alat kesehatan, akademisi yang terlibat pun ada yang berlatar belakang material dan elektronik, maupun berlatar belakang mesin dan desain. Selain mereka, proyek pun mengalokasikan anggaran untuk membiayai proyek penelitian doktoral (S3) dan pasca-doktoral, yaitu penulis sendiri. Sehingga total peneliti yang terlibat langsung adalah lima orang. Dalam proyek ini, mahasiswa S3 rekan penulis bertugas mengembangkan sistem optik, sedangkan penulis sebagai staf pasca-doktoral bertugas mengembangkan integrasi mekanik dan mikro optik. Desain dasar integrasinya telah dipatenkan [5], dan hasil penelitian dan pengembangan proyek ini pun juga telah dipublikasikan dalam berbagai konferensi ilmiah (antara lain [3,4])  maupun jurnal ilmiah internasional. Secara langsung, proyek pengembangan alat kesehatan ini telah memberikan pula kontribusi saintifik yang signifikan, di samping kontribusi ekonomi dan kesehatannya pada jangka menengah hingga panjang. Rekan penulis yang telah menyelesaikan studi doktoralnya pada proyek ini mendirikan perusahaan baru MedLumics di Spanyol, sebagai industri spin-off untuk mengkomersialkan inovasi yang dihasilkan proyek ini.

2.3 Peran serta pengguna (end user)

Dalam mendesain dan memanufaktur alat kesehatan, salah satu aspek terpenting adalah kesediaan dan persetujuan pengguna untuk memanfaatkan alat kesehatan tersebut. Kesediaan dan persetujuan ini penting, apalagi bila alat kesehatan yang dikembangkan tersebut menggunakan teknik atau teknologi yang baru. Sedapat mungkin pihak pengguna, dalam hal ini dokter dan tenaga klinis, dilibatkan sejak proses perumusan awal proyek pengembangan alat kesehatan tersebut. Demikianlah yang terjadi pada proyek pengembangan pencitraan OCT dengan mesin bor gigi ini. Pihak dokter gigi yang juga adalah akademisi ilmu kedokteran gigi dari Universitas Groningen maupun Akademi Kedokteran Gigi Amsterdam, telah dilibatkan pada saat perumusan proposal serta ketika berlangsungnya proyek pengembangan. Dengan demikian, begitu purwa rupa alat tersebut dihasilkan, telah ada pihak yang siap bekerja sama melakukan uji pra-klinikal maupun klinikal. Uji-uji ini amat penting pada pengembangan alat kesehatan yang baru.

2.4 Peran serta pemerintah dan Insentif

Pemerintah Belanda sendiri memegang peranan yang amat penting untuk memfasilitasi terlaksananya proyek pengembangan pencitraan OCT berbasis mesin bor gigi ini. Melalui salah satu yayasan yang mendapatkan pendanaan pemerintah Belanda, yaitu Stichting voor de Technische Wetenschappen (STW, yamg berarti Yayasan untuk Studi Teknik) yang sekarang berganti nama menjadi Toegepaste en Technische Wetenschappen (TTW, atau berarti Studi Terapan dan Teknik) di bawah Kementerian Ekonomi, pemerintah Belanda mengucurkan sebagian (besar) dana yang diperlukan untuk pengembangan teknologi-teknologi baru dengan partisipasi aktif akademisi, industri dan pengguna. Yayasan ini memiliki staf-staf dengan kualifikasi doktoral, yang ditugaskan untuk menginisiasi maupun mengawal keberlangsungan suatu proyek R&D. Hasil-hasil penelitian yang dihasilkan, akan dibiayai pula proses pendaftaran patennya. Dengan konsep Open Innovation (inovasi terbuka), industri yang berminat, khususnya yang berkontribusi pada berjalannya proyek dapat melisensi paten tersebut dengan biaya lisensi tertentu secara non-eksklusif. Hasil royalti akan diputar untuk pengembangan teknologi-teknologi lainnya. Bagi industri sendiri, biaya melisensi teknologi yang dihasilkan dari proyek STW jauh lebih murah dibandingkan bila mereka mesti mengembangkan teknologi itu secara sendirian.

Tags

About The Author

Dedy Hermawan Bagus Wicaksono 16
Pensil

Dedy Hermawan Bagus Wicaksono

Setelah menyelesaikan studi sarjananya di jurusan Teknik Fisika, ITB, Bandung, di tahun 1998, Dedy mengembara ke Jepang, dan bekerja paruh waktu di Suruga Seiki Shimizu, suatu perusahaan manufaktur komponen mekanik. Pekerjaan ini dilakukannya sambil belajar bahasa Jepang. Di tahun 1999, ia menjadi mahasiswa pasca sarjana non-gelar di Tokyo Institute of Technology, pada bidang rekayasa bioinformasi di bawah bimbingan Prof. Masuo Aizawa dan Prof. Eiry Kobatake. Studi Master ia selesaikan pada tempat yang sama pada periode 2000-2002 dengan tesis tentang pengenalan ikatan DNA-protein pada level molekul tunggal menggunakan mikroskop gaya atom (AFM). Pengembaraannya berlanjut ke Belanda, ketika Dedy memutuskan melanjutkan studi doctoralnya di Technische Universiteit Delft, Belanda, pada 2003, dengan topik penelitian tentang Bio-inspired Sensors. Ia menyelesaikan studi doktoralnya pada tahun 2008. Ia kemudian melanjutkan karirnya sebagai peneliti pasca-doktoral di Universitas yang sama, untuk mengembangkan integrasi optomekanika lensa mikro pada mesin bor gigi untuk melakukan pencitraan optical coherence tomography. Proyek ini dilakukan secara terpadu bersama-sama ilmuwan kedokteran gigi dari Universitas Groeningen, beserta industri mata bor gigi dan ahli-ahli dari departemen lain di TU Delft, dengan suntikan dan koordinasi dana dari pemerintah Belanda, yang diwakili STW (Stichting voor de Technische Wetenschappen). Di tahun 2010, Dedy memutuskan untuk berpindah ke Asia Tenggara, dan memulai karirnya sebagai pengajar dan peneliti di Universiti Teknologi Malaysia (UTM), di Faculty of Health Science and Biomedical Engineering, yang kemudian berubah nama menjadi Faculty of Biosciences and Medical Engineering. Dedy mengajar dan meneliti serta mengembangkan alat-alat biomedis, khususnya untuk aplikasi diagnostik, baik secara biokimia maupun secara elektromekanis. Di sini ia menemukan dan mengembangkan alat diagnostik berbasis kain. Pada tahun 2016, ia memutuskan untuk kembali ke tanah air, dan menjadi staf dosen di Dept. of Biomedical Engineering, Faculty of Life
Brain Gain adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Dedy Hermawan Bagus Wicaksono

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login