Pengaturan Penggunaan Antibiotik Untuk Menyelamatkan Generasi yang Akan Datang

18 Jan 2017 17:34 8468 Hits 0 Comments
Makalah yang berkaitan dengan upaya penanggulangan resistensi antibiotik

ABSTRAK

Penggunaan antibiotik untuk mengelola penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri telah diketahui secara luas oleh semua petugas pelayanan kesehatan di seluruh dunia sejak dimulainya penggunaan antibiotik pada sekitar tahun 1940an. Telah terbukti bahwa banyak jiwa yang dapat diselamatkan karena penggunaan antibiotik.

Malangnya, saat ini, zaman keemasan tersebut telah sirna, atau sedikit banyak telah berkurang pamornya, karena terjadi resistensi antibiotik, yang mengurangi daya kerja antibiotik-antibiotik yang telah ditemukan sepanjang tujuh puluh lima tahun terakhir ini. Berdasarkan penelitian dan pengalaman yang dilaporkan di berbagai penjuru dunia, telah dibuktikan bahwa pada saat ini terdapat antibiotik-antibiotik yang sudah tidak efektif dalam mengatasi bakteri-bakteri penyebab penyakit-penyakit infeksi tertentu, yang sebelumnya mudah untuk diatasi. Fenomena ini sangat merugikan upaya para petugas kesehatan dalam menolong para penderitanya, bahkan lebih jauh lagi, berdampak menurunnya mutu pelayanan kesehatan dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan secara tajam.

Berbagai kebijakan, program dan kegiatan telah diupayakan, baik secara lokal, regional, maupun global, yang dilaksanakan oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO), Pemerintah, dan Lembaga-lembaga Non-Pemerintah, dengan hasil yang belum terlalu memuaskan. Untuk itu, diperlukan upaya yang lebih keras dan lebih cepat lagi, yang harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pihak-pihak yang terkait di seluruh dunia, termasuk masyarakat awam. Jika tidak, pada waktu mendatang, akan terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai era “post-antibiotic”, di mana umat manusia akan kehilangan nyawanya karena penyakit-penyakit infeksi yang sudah tidak dapat disembuhkan oleh satu jenis antibiotikpun.

Era tersebut di atas adalah sama dengan era ketika antibiotik belum ditemukan, yaitu pada abad sebelum abad 20. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencegah terulangnya kembali keadaan pada era tersebut, sehingga generasi yang akan datang bisa diselamatkan dari kepunahan secara sia-sia. 

Kata kunci: Upaya Penanggulangan Resistensi Antibiotik; Penggunaan Antibiotik Secara Bijak; Peran Seluruh Pemangku Kepentingan. 

 

1. PENDAHULUAN

Sejak ditemukannya penisilin pada tahun 1928 oleh Alexander Flemming, dan mulai diproduksi pada tahun 1940an, dunia kesehatan mulai mendapatkan keuntungannya dengan berkurangnya angka kematian karena penyakit-penyakit infeksi, misalnya: lepra, tuberculosa, gonorue, syphilis, pneumonia, yang sebelumnya tidak bisa diatasi. Umur harapan hidup meningkat secara signifikan, terutama di negara-negara maju, di mana masyarakatnya, dengan didukung oleh kemajuan pengetahuan dan teknologi, mampu meningkatkan sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik, sehingga dapat menikmati eradikasi penyakit-penyakit infeksi secara total, yang menyebabkan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan secara umum. Masa-masa yang dapat disebut sebagai zaman keemasan umat manusia dalam menanggulangi penyakit infeksi.

Tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Ketika Alexander Flemming mendapat Hadiah Nobel untuk Kedokteran pada tahun 1945, ditengarai bahwa telah terjadi resistensi bakteri Staphylococcus aureus terhadap penisilin pada tahun 1940. 

Disadari atau tidak, penggunaan secara berlebihan (overuse), penggunaan secara salah (misuse) dan penyalahgunaan (abuse) antibiotik oleh umat manusia, menyebabkan terjadinya penurunan efektifitas antibiotik. Arti dari penurunan efektifitas suatu antibiotik adalah berkurangnya kemampuan antibiotik untuk menanggulangi serangan bakteri tertentu, sehingga penyakit-penyakit infeksi karena bakteri tersebut tidak dapat diatasi lagi. Atau dengan perkataan lain, bakteri telah menjadi kebal terhadap antibiotik. Keadaan ini disebut sebagai resistensi antibiotik atau Anti-Microbial Resistance (AMR). Akibatnya, penderita meninggal dunia; dan secara statistik angka kematian di suatu tempat akan meningkat. Bila keadaan ini terjadi di banyak tempat secara meluas di seluruh dunia, maka jika tidak dicegah, akan menyebabkan penurunan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat secara luas dan drastis, yang pada gilirannya akan menyebabkan kepunahan umat manusia. Suatu keadaan yang terbalik dengan zaman keemasan seperti yang disebutkan di atas.

Resistensi antibiotik disebabkan karena timbulnya berbagai masalah yang kompleks, yang dapat dikelompokkan menjadi empat. Pertama: masalah yang ditimbulkan oleh bakteri, kedua: masalah yang ditimbulkan oleh manusia, ketiga: masalah yang dihadapi dalam pengembangan antibiotik baru, keempat: masalah yang terjadi di lingkungan hidup. Keempat masalah ini terjadi bersamaan dengan berkembangnya keadaan bakteri, manusia, dan antibiotik di seluruh dunia, yang berdampak pada penggunaan antibiotik, senjata andalan kita, dalam berperang melawan bakteri.

Pada tahun 2013, WHO menyatakan bahwa angka kematian akibat resistensi antibiotik mencapai 700 ribu per tahun, dan diperkirakan pada tahun 2050 angka ini akan meningkat menjadi 10 juta per tahun, dengan perincian: di Asia 4.730.000, di Afrika 4.150.000, di Amerika Latin 392.000, di Eropa 390.000, di Amerika Utara 317.000, serta di Australia dan Kepulauan Pasifik 22.000. Sedangkan secara ekonomi akan menyebabkan penurunan Gross Domestic Product (GDP) secara global, minimum 1.1 % dan maksimum 3.8 %.

Tentu saja, keadaan ini harus dicegah, atau setidak-tidaknya ditekan seminimal mungkin, agar generasi yang akan datang dapat diselamatkan.

Untuk dapat mengupayakan pencegahan secara berdaya guna, kita harus mempunyai pengetahuan yang maksimal tentang penyebab terjadinya permasalahan ini. Strategi ini disebut sebagai: “Kenalilah musuh Anda, diri Anda sendiri, senjata Anda, dan lingkungan Anda sebelum Anda melaksanakan peperangan” (Know your enemy, yourself, your weapon, and your environment before you fight), yang akan dijelaskan di bawah ini.

2. PENYEBAB PERMASALAHAN

Seperti telah disebutkan di atas, penyebab permasalahan ini dapat dikelompokkan menjadi empat hal: Pertama, dari segi bakteri, kedua dari segi manusia, ketiga dari segi antibiotik, dan keempat dari segi lingkungan.

2.1 Dari Segi Bakteri

Di dunia ini, terdapat dua jenis bakteri. Pertama: bakteri komensal, yang terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu di saluran pencernaan, untuk mengubah makanan menjadi zat gizi, membuat vitamin B dan K, membuang hasil pencernaan berupa tinja, memicu pembentukan antibodi untuk melindungi tubuh dari bakteri patogen, dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Bakteri jenis ini disebut sebagai bakteri normal flora, contohnya: E. coli, Lactobacillus sp., Fusobacteria, Actinobacteria, Protebacteria, dll.

Bakteri saprofit terdapat di luar tubuh manusia, dengan fungsi menyediakan zat gizi untuk tanaman dan melindungi tanaman dari jamur dan bakteri patogen, menghancurkan sampah, dan membersihkan polusi dari lingkungan hidup.

Kedua: bakteri patogen (pathogen bacteria), atau disebut sebagai bakteri penyebab penyakit, contohnya: Staphylococcus sp., Streptococcus sp., Pseudomonas sp., Acinetobacter sp., Bacteriodes sp., dll. Dalam jumlah besar tertentu, bakteri patogen dapat menimbulkan penyakit pada manusia, misalnya infeksi selaput otak, infeksi saluran pernafasan (TBC, bronchitis, pneumonia, dll), infeksi saluran pencernaan (disentri, typhus, dll), infeksi saluran kemih, infeksi sistem reproduksi, infeksi pada tulang, dll.  

Sebagaimana diketahui, bakteri patogen memerlukan jumlah besar tertentu yang cukup untuk menimbulkan penyakit infeksi pada tubuh manusia. Jika hanya dalam jumlah sedikit, sistem imun  tubuh atau sistem kekebalan tubuh seseorang, masih dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuhnya, sehingga terjadinya penyakit infeksi, dapat dicegah.

Sistem kekebalan tubuh ini disebut sebagai antibodi, yang terdiri dari humoral dan selular, meliputi antibakteri, sel imun, dll. Di samping itu, seperti dijelaskan di atas, bakteri flora normal juga berperan dalam meningkatkan imunitas tubuh; tetapi bakteri normal flora mudah mati, sehingga setiap kali seseorang menggunakan antibiotik, saat itu bakteri flora normal banyak yang mati, menyebabkan kekebalan tubuh menurun.

Jika sistem imun seseorang menurun, maka dengan adanya serangan dari sejumlah besar bakteri patogen, yang bersangkutan dapat menderita penyakit infeksi, yang hanya bisa ditanggulangi dengan pemberian antibiotik secara benar, di mana bakteri patogen tersebut bisa dibunuh atau dihambat pertumbuhannya, sehingga penderita terbebas dari penyakit infeksi yang dideritanya. Di sinilah peran yang teramat penting dari penggunaan antibiotik.

Tetapi, kisah sukses tersebut tidak selalu terjadi, karena pada dasarnya bakteri adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang juga dikaruniai kemampuan untuk berjuang dalam mempertahankan hidupnya, yakni membuat dirinya mampu bertahan terhadap serangan antibiotik, dengan tiga cara sebagai berikut:. 

2.1.1 Cara Pertama: Proses Secara Alami (natural phenomenon):

Dari berbagai penelitian mikrobiologi, dibuktikan bahwa, walaupun tidak pernah mengalami sentuhan (exposure) secara langsung dengan antibiotik, bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik, dengan mekanisme:  a. mutasi genetik secara spontan, b. perpindahan genetik yaitu: konyugasi (conjugation), transformasi (transformation), dan transduksi (transduction), sehingga tidak bisa dikenali lagi oleh antibiotik. Akibatnya, bakteri tersebut bisa bertahan terhadap serangan antibiotik.

Gambar-1: Proses Resistensi Bakteri Secara Alami (natural phenomenon):

Bakteri yang mengalami mutasi genetik secara spontan, melakukan perpindahan gen resistennya kepada bakteri lain yang belum resisten dengan cara konyugasi, transformasi, dan transduksi.

Sumber: Courtesy of Prof. dr. P. J. van den Broek, Leiden University Medical Centre.        

2.1.2 Cara Kedua: Proses Penekanan Secara Selektif (selective pressure):

Dibuktikan juga bahwa, dalam suatu komunitas bakteri, di mana terdapat sejumlah kecil (minoritas) bakteri yang telah bermutasi (kita sebut sebagai bakteri Xm) dan sejumlah besar (mayoritas) bakteri lain yang belum bermutasi (bakteri X), jika diberi antibiotik tertentu (antibiotik A), maka kelompok bakteri X akan dapat dibunuh atau dihambat perkembangannya oleh antibiotik A, sedangkan bakteri Xm akan tetap bertahan hidup. Dalam proses selanjutnya, bakteri Xm yang jumlahnya sedikit tersebut, karena adanya nutrisi yang cukup, akan berkembang biak secara cepat sehingga mencapai jumlah yang besar, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit infeksi, yang tidak dapat diatasi lagi dengan antibiotik A. Cara ini disebut sebagai penekanan secara selektif (selective pressure) di mana bakteri yang belum resisten dibunuh, atau dihambat, atau ditekan oleh penggunaan antibiotik tertentu, yang menyebabkan bakteri yang dari awal sudah resisten (resisten secara alami, baca Cara Pertama di atas) menjadi berkembang biak secara cepat untuk mencapai jumlah yang dapat menyebabkan penyakit infeksi yang lebih lebih sulit disembuhkan, karena bakteri penyebabnya adalah bakteri yang telah resisten. 

Gambar-2: Proses Penekanan Secara Selektif (selective pressure):

Bakteri yang belum resisten: berwarna hijau, bakteri yang sudah resisten: berwarna merah.

Dengan pemberian antibiotik, bakteri yang belum resisten dapat dibunuh atau dihambat, sedangkan bakteri yang resisten semakin berkembang biak mencapai jumlah yang besar.

Sumber: Courtesy of Prof. dr. P. J. van den Broek, Leiden University Medical Centre.

Semakin banyak antibiotik (antibiotik B, C, D, E, dst) yang diekspos kepada bakteri Xm, maka semakin banyak antibiotik yang tidak efektif lagi terhadap bakteri Xm. Keadaan ini disebut sebagai Multi-Drug-Resistance-Bacteria (MDR-B), yang sangat merugikan proses penyembuhan penderita penyakit infeksi, karena penderita akan meninggal dunia, disebabkan tidak ada lagi antibiotik yang dapat membantunya melawan bakteri yang bermukim di dalam tubuhnya; atau diperlukan upaya dan biaya yang lebih banyak. Bakteri yang telah resisten terhadap lebih dari satu antibiotik disebut sebagai superbugs.

Superbugs yang paling berbahaya adalah Clostridium difficile, menyebabkan diare yang mengancam jiwa karena infeksi nosokomial, sehingga meningkatkan angka kesakitan di US 250.000, angka kematian 14.000, serta biaya untuk mengatasinya, USD. 1 milliar per tahun. 

Dari segi kerugian biaya, WHO menyatakan bahwa biaya penyembuhan penyakit TBC yang disebabkan oleh bakteri tuberkulosa yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik (MDR-TB), seratus kali lebih besar dibandingkan dengan penyembuhan bakteri tuberkulosa yang belum resisten.

Di Amerika Serikat, penyakit infeksi yang disebabkan oleh MDR-bacteria, merugikan masyarakat sejumlah USD. 55 miliar setiap tahunnya, di mana USD. 20 miliar untuk biaya langsung dalam mengatasi penyakitnya, dan USD. 35 miliar untuk biaya tidak langsung, disebabkan para penderita kehilangan produktifitas, tidak bisa bekerja, karena penyakit infeksinya lebih berat dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya. 

Di seluruh dunia, di antara tahun 2000 – 2010 penggunaan antibiotik secara kuantitatif meningkat sebesar 36%. Di Brasilia, Rusia, Cina, dan Afrika Selatan meningkat 76%, sedangkan di negara-negara lain peningkatannya bervariasi tergantung dari iklim. Hal ini termasuk peningkatan penggunaan carbapenems (45%) dan polymixin (13%), dua antibiotik yang seharusnya dihemat, karena merupakan senjata pamungkas (the last resort) untuk mengatasi bakteri-bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik lini pertama dan kedua.

 

2.1.3 Cara Ketiga: Proses Penyebaran (spread):

Bakteri bisa berkembang biak secara cepat dengan cara penyebaran (spread). Jika seseorang menderita penyakit infeksi maka bakteri yang terdapat dalam tubuh penderita tersebut dapat menyebar dengan cara melalui kontak langsung (direct contact), udara (air), percikan (droplets), makanan (food), darah (blood), hewan pembawa (vector), sehingga jumlahnya cukup banyak untuk menyebabkan penyakit infeksi kepada orang lain.

Gambar-3: Proses Penyebaran (spread): 

Bakteri yang belum resisten: berwarna hijau, bakteri yang telah resisten: berwarna merah. Dengan pemberian antibiotik, bakteri yang belum resisten dapat dibunuh atau dihambat, sedangkan bakteri yang resisten semakin berkembang biak mencapai jumlah yang besar.

Sumber: Courtesy of Prof. dr. P. J. van den Broek, Leiden University Medical Centre

Dampak yang ditimbulkan oleh proses penyebaran bakteri ini adalah seorang penderita akan tertular penyakit-penyakit infeksi yang didapat ketika penderita tersebut dirawat bersama-sama dengan penderita lain di tempat-tempat pelayanan kesehatan, misalnya di rumah sakit, nursing homes, longterm facilities.

Infeksi yang didapat ketika penderita dirawat di tempat pelayanan kesehatan disebut sebagai infeksi nosokomial (health care-associated infection). Hal ini dapat terjadi jika kebersihan (hyegine) di tempat tersebut tidak memenuhi persyaratan, dengan berbagai sebab. Infeksi nosokomial yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih (urinary tract infection) karena penggunaan kateter, infeksi saluran pernafasan. (respiratory tract infection) dengan atau tanpa penggunaan ventilator, diare, dll.

Ratusan juta penderita tertular infeksi nosokomial di seluruh dunia. The European Centre for Disease Prevention and Control melaporkan bahwa di negara-negara Eropa angka kesakitan karena infeksi nosokomial rata-rata 7.1%. Di Amerika Serikat 4.5% pada tahun 2002, dan di negara-negara berkembang berkisar antara 5.7-19.1%. Infeksi nosokomial yang paling sering terjadi adalah pada unit perawatan intensif (Intensice Care Unit), dengan angka 4.4% - 88.9% dari seluruh penderita penyakit infeksi, atau 42.7 episode per 1000 patient-days.

Hal ini sangat merugikan karena menyebabkan penderita akan dirawat lebih lama di rumah sakit, sehingga kemungkinan tertular infeksi nosokomial yang lain akan meningkat, dan biaya pengobatan juga pasti akan meningkat. 

 

2.2 Dari Segi Manusia

Menurut laporan penelitian dari berbagai belahan dunia, terjadi penggunaan secara salah dan penyalahgunaan antibiotik, yang dilakukan oleh:

 

2.2.1 Para petugas pelayanan kesehatan (health care providers):

Penggunaan secara salah dan penyalahgunaan antibiotik terjadi di rumah sakit, baik rumah sakit pendidikan maupun non-pendidikan, klinik-klinik kesehatan besar dan kecil, milik pemerintah maupun swasta, dan pusat-pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).  

Pada umumnya kesalahan yang terjadi adalah: tidak ada indikasi (menggunakan antibiotik untuk mengatasi penayakit infeksi yang disebabkan oleh virus), atau tidak tepat indikasinya (tidak dibuktikan dengan data klinis dan laboratorium yang akurat, tidak tepat pemilihan antibiotiknya sehubungan dengan kondisi klinis penderita (antibiotik yang diberikan tidak aman untuk keadaan penderita, misalnya penderita gagal ginjal diberi antibiotik yang potensial berbahaya untuk ginjal (nephrotoxic antibiotic), tidak tepat dosisnya (terlalu sedikit atau terlalu banyak), tidak tepat bentuk sediaannya (seharusnya penderita dapat menggunakan antibiotik secara oral, tetapi diberi suntikan), tidak tepat waktu pemberiannya (tidak sesuai dengan aturan pakai: misalnya setiap 8 jam, atau 12 jam, atau 24 jam), tidak tepat lama penggunaannya (terlalu lama atau terlalu singkat), dan tidak diantisipasi kemungkinan timbulnya reaksi yang merugikan penderita, misalnya reaksi berbahaya yang tidak diinginkan (adverse reactions), interaksi antara antibiotik dengan obat lain (drug-drug interactions), atau dengan makanan (drug-food interactions), atau dengan reagen untuk menegakkan diagnose (drug-reagent interactions), dan reaksi alergi (allergic reactions). 

Juga terdapat kesalahan dalam penggunaan antibiotik untuk profilaksis bedah, misalnya: tidak ada indikasi (memberikan antibiotik sebelum operasi untuk operasi polip hidung, struma/tumor leher, sunat/sirkumsisi, amandel/tonsilektomi, tumor jinak payudara, tumor jinak pada otot, lemak, atau kulit, cabut gigi), salah pemilihan antibiotik (memberikan antibiotik sebelum operasi dengan pilihan antibiotik yang tidak tepat untuk jenis dan tempat operasi), salah waktu pemberian (diberikan dalam waktu jauh sebelum operasi dimulai atau sesaat sebelum operasi dimulai), salah dosis (dosis terlalu rendah), salah cara pemberian (seharusnya diberikan melalui suntikan, tetapi diberikan secara oral).

Dalam hal memperoleh antibiotik, terdapat penyalahgunaan dan penggunaan secara salah juga, yaitu antibiotik dapat diperoleh tanpa resep dokter, dan ketika antibiotik diserahkan kepada penderita, tidak ada informasi yang diberikan kepada penderita tentang penggunaan antibiotik secara benar. Di samping itu di banyak negara berkembang, terdapat toko-toko obat yang berijin maupun tidak berijin, yang menjual antibiotik secara illegal.

 

2.2.2 Masyarakat, penderita dan keluarganya:

Terjadi kesalahan pemahaman masyarakat, termasuk penderita dan keluarganya, tentang antibiotik. 

Masyarakat menganggap antibiotik sebagai obat “ajaib”, yang dapat mengatasi semua penyakit infeksi, padahal antibiotik hanya dapat mengatasi penyakit infeksi karena bakteri, jika digunakan secara benar. Akibatnya setiap kali menderita demam, batuk, pilek, sakit di seluruh tubuh, mereka langsung menggunakan antibiotik sebagai bagian dari pengobatan sendiri (self- medication), di mana antibiotik dapat dibeli di apotik atau toko obat tanpa resep dokter.

Mereka juga melakukan kesalahan sebagai berikut: jika merasa bahwa keadaan tubuh telah agak membaik, maka penggunaan antibiotik dihentikan; memakai antibiotik sisa dari pemberian oleh dokter untuk penyakit infeksi karena bakteri yang telah berlalu, baik milik sendiri, maupun milik orang lain; menggunakan antibiotik tanpa menuruti aturan pakai yang benar; tidak  menyimpan antibiotik pada tempat yang benar, dan tidak membuang antibiotik secara tepat.     

 

2.2.3 Para peternak:

Di dunia peternakan, peternak memberikan antibiotik untuk mengatasi penyakit infeksi, mencegah penyakit infeksi, dan mempercepat pertumbuhan untuk sapi, babi, ayam, unggas, ikan, dan lain- lainnya. Saat ini ditengarai penggunaan antibiotik untuk ternak jumlahnya lebih banyak daripada penggunaan untuk manusia. Diperkirakan 80% antibiotik yang digunakan di seluruh USA adalah untuk ternak. Peternak menggunakan jenis antibiotik yang sama seperti yang digunakan untuk manusia. Tiga golongan antibiotik untuk ternak yang paling tinggi penjualannya di seluruh dunia adalah makrolid (USD. 600 juta), penisilin (USD. 600 juta), dan tetrasiklin (USD. 500 juta).

Indikasi penggunaan antibiotik untuk ternak dalam hal mengatasi penyakit infeksi dan mencegah infeksi sama dengan indikasi untuk manusia, misalnya penggunaan antibiotik untuk operasi besar, untuk mencegah infeksi luka operasi; dan antibiotik juga digunakan untuk seluruh kawanan ternak guna mencegah terjadinya infeksi yang akan dapat membunuh seluruh populasi ternak pada saat-saat rawan dalam siklus produksinya, misalnya pada saat babi muda disapih dari induknya.    

Peternak biasanya menggunakan antibiotik untuk pencegahan ini berdasarkan pengalaman sebelumnya bahwa akan terjadi infeksi tertentu pada siklus pertumbuhan ternaknya, atau jika ada satu atau lebih ternak dalam kawanannya menderita penyakit infeksi.

Pemberian antibiotik profilaksis ini, atau lebih dikenal dengan sebutan antibiotik “metaphylactic” biasanya dicampur dengan air atau makanan ternak.  

Penggunaan antibiotik untuk mempercepat pertumbuhan ternak tidak ada padanannya dalam penggunaan antibiotik untuk manusia. Hal merupakan target pemerintah untuk mengatur dan menguranginya, karena penggunaan antibiotik untuk memacu kecepatan pertumbuhan ternak biasanya dilakukan dengan menggunakan dosis yang sangat kecil, yang pada gilirannya akan  memicu pertumbuhan bakteri resisten secara luas dan masif. 

Di bawah ini bagan terjadinya resistensi antibiotik karena penggunaannya pada ternak:

Pengaturan Penggunaan Antibiotik Untuk Menyelamatkan Generasi yang Akan DatangGambar-4: Penyebaran bakteri resisten dari ternak kepada manusia

Sumber:  Centers for Disease Control and Prevention, US.

2.3 Dari Segi Antibiotik

Pada masa yang lalu, walaupun terjadi resistensi antimikroba, dengan adanya penemuan antibiotik baru secara pesat, maka selalu ada harapan bahwa akan ada antibiotik baru yang akan menggantikan antibiotik yang telah resisten; tetapi sekarang keadaan ini sudah tidak akan terjadi lagi.  

Di antara kurun waktu 1935 – 2003, sejumlah 14 kelas antibiotik baru ditemukan, namun dalam waktu singkat, hal ini diikuti dengan terjadinya resistensi antibiotik baru tersebut.

Pada tahun 2003, Ruang Perawatan Intensif (ICU) di rumah sakit - rumah sakit di Amerika Serikat melaporkan kepada the Center for Disease Control and Prevention, US, bahwa hampir 60 % isolat Staphylococcus aureus telah resisten terhadap methicillin. Juga SMART (Study for Monitoring Antimicrobial Resistance Trend dan Program Surveilans Resistensi Antimikroba, SENTRY, membuktikan terjadinya peningkatan kecepatan laju resistensi Klebsiella terhadap Sefalosporin generasi ketiga; serta Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli yang memproduksi extended-spectrum β-lactamase (ESBL), serta Pseudomonas telah resisten terhadap fluoroquinolones.

 Puluhan ribu penderita di Amerika Serikat meninggal dunia karena terinfeksi bakteri patogen yang sudah resisten terhadap antibiotik, dan setiap hari, penderita meninggal dunia karena tidak tersedia antibiotik yang masih efektif untuk mengatasi penyakit infeksi yang dideritanya.

Hal ini disebabkan karena berkurangnya penemuan antibiotik baru dalam waktu 30 tahun terakhir ini.

Penyebab berkurangnya jumlah antibiotik baru yang dikembangkan adalah karena dua alasan Pertama, secara ilmiah, penelitian dan pengembangan antibiotik baru sulit dan banyak mengandung resiko. Antibiotik yang akhir-akhir ini dikembangkan, pada umumnya tidak berbeda mekanisme kerjanya dengan golongan antibiotik yang sudah ada, Sejak tahun1998, hanya 15 dari 67 antibiotik yang benar-benar mempunyai mekanisme kerja baru, contohnya linezolid dan daptomycin. Juga pada umumnya antibiotik baru yang dikembangkan ini bersifat mempunyai spektrum luas, yang akan semakin mempercepat terjadinya resistensi, sehingga antibiotik baru ini menjadi cepat tidak dapat dipakai lagi.

Kedua, secara ekonomis, investasi untuk melakukan penelitian guna mengembangkan dan memproduksi antibiotik baru tidak menguntungkan, karena antibiotik digunakan secara singkat dan berdasarkan target, yaitu untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan penggunaan obat-obat untuk penyakit kronis, misalnya diabetes, tekanan darah tinggi, dan sebagainya, digunakan setiap hari, sepanjang umur hidup penderita.

Oleh karena itu, banyak perusahaan farmasi menghentikan produksi antibiotik. Hanya lima perusahaan farmasi yang terbesar, yang masih memproduksi antibiotik dan melakukan penelitian untuk mengembangkan antibiotik baru, yaitu: GlaxoSmithKline, Novartis, AstraZeneca, Merck and Pfizer, pada tahun 2018. Pada umumnya saat ini, penelitian-penelitian mereka masih dalam tahap dini untuk dapat menghasilkan antibiotik baru, karena pengembangan antibiotik baru memerlukan waktu yang sangat panjang dengan biaya yang sangat tinggi.

Pada tahun 2013, Centers for Disease Control and Prevention mengemukakan adanya ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang serius karena terjadinya resistensi antibiotik lebih cepat dibandingkan dengan ditemukannya antibiotik baru.

           Gambar-4: Kurun waktu yang menunjukkan penemuan antibiotik baru dan terjadinya resistensi bakteri.

 Sumber: U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention: Antibiotic Resistance Threats in the United States, 2013.

2.4 Dari Segi Lingkungan

Bakteri resisten, gen resisten, dan limbah antibiotik tidak hanya terdapat pada manusia atau hewan, tetapi juga ditemukan di lingkungan hidup.

Limbah antibiotik dapat mencemari lingkungan hidup utamanya berasal dari sisa manusia dan hewan, pada umumnya melalui tinja dan air seni, serta dari pabrik pembuat antibiotik.

Kadangkala masyarakat juga membuang antibiotik melalui jamban, atau rumah sakit membuang antibiotik secara tidak tepat, atau sistem sanitasi (septic tank) yang bocor mencemari tanah dan air di bawah tanah.

Di lingkungan hidup, limbah antibiotik ada yang bisa dihancurkan, tetapi ada yang tidak bisa dimusnahkan dengan proses penanganan limbah, yang kemudian akan mencemari air di sungai, danau, kolam, serta lumpur dan tanah.   

 Antibiotik dapat diekskresikan 90% melalui urin dan 75 % melalui tinja hewan, yang secara langsung akan mencemari lingkungan hiudp.

Semua mekanisme ini pada akhirnya akan membuat lingkungan hidup kita tercemar oleh antibiotik.   

Di samping itu, di negara-negara berkembang dengan pendapat menengah ke bawah, keadaan kebersihan dan kesehatan lingkungan (hygiene) sehari-hari belum memenuhi persyaratan yang optimal, misalnya belum ada sarana air bersih, sehingga mandi, cuci, dan kakus (MCK) sangat sulit ditemui untuk digunakan secara benar, sehingga masyarakat sering terkena penyakit infeksi, kemudian menggunakan antibiotik secara tidak tepat.

Kebersihan dan kesehatan lingkungan di rumah-sakit-rumah sakit, klinik kesehatan, dan pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat juga belum optimal, sehingga menyebabkan para petugas kesehatan menggunakan antibiotik untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi, dengan alasan tidak percaya dengan higiene di tempatnya bekerja.  

Keadaan ini semakin memicu terjadinya resistensi antibiotik di negara-negara berkembang di benua Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik, dengan jumlah penduduk yang merupakan mayoritas di seluruh dunia.

Keempat penyebab tersebut di atas menjadi dasar utama dalam upaya untuk mencegah atau menekan terjadinya resistensi antibiotik.

Tags

About The Author

Erni P Kolopaking 17
Pensil

Erni P Kolopaking

Erni P. Kolopaking earned her Bachelor of Pharmacy Degree, and Pharmacist Professional Degree from School of Pharmacy, Bandung Institute of Technology (ITB), in Bandung, Indonesia. Then in 1980 she started working as a hospital pharmacist and later on became the Head of Clinical Pharmacy for Dr. Soetomo Teaching Hospital in Surabaya, which has 1,750 beds, a teaching hospital for Airlangga University, and it is the top referral hospital for eastern part of Indonesia. She also served as a lecturer in Faculty of Pharmacy of Airlangga University, Gadjah Mada University and Ahmad Dahlan University in Yogyakarta, as well as an adjunct lecturer in several schools of pharmacy in Java, Sumatra, Bali, and Sulawesi islands, in 1980 - 2010. During her early tenure at Dr. Soetomo Teaching Hospital, she was sent by the Indonesian Ministry of Health and the World Health Organization (WHO) to study Hospital Pharmacy Management in Nordic Countries and some of European Countries (Germany, French, and Switzerland); as well as Clinical Pharmacy Services, including Drug Information Services, and Cancer Pain Relieve and Palliative Care, in Australia and in the USA. Afterwards she became a frequent invited speaker in various seminars, conferences, workshops; consultant and trainer throughout hospitals and universities in Indonesia and ASEAN, for promoting the management and use of medicines rationally. She was also appointed as one of the WHO temporary consultants to determine the role of the pharmacists in the health care system, in New Delhi, India, 1988. Furthermore, she was sent by the Indonesian Ministry of Health and the USAID, to study Pharmacoeconomics and Health Insurance System at the University of Southern California, in Los Angeles, California, USA, in 1999-2000. Since 1993, she is maintaining a continuing working relationship with the College of Pharmacy, University of Arizona, Tucson, Arizona, USA, to improve the education of clinical pharmacy in Indonesia. She organized and led four International Conferences on Clinical Pharmacy in Jakarta (1994), in Bali (1997 and 2003), and in Surabaya (2008). She was awarded The Donald C. Brodie Award in June 2003, given by the Board of Directors of International Foundation for Pharmacy Education (IFPE) in recognition of “The accomplishments in the development of exemplary educational programming and pharmacy services which have benefited pharmacy on a national and international basis”. Her international project achievements were the cooperation with the Antibiotic Guidelines Sub-Committee, Antibiotic Guidelines/Victorian Drug Usage Advisory Committee, in Melbourne, Victoria, Australia, in 1989-1990, where the results, among others were: the development of the First Dr. Soetomo Teaching Hospital Antibiotic Guidelines in 1990, and the First Indonesian (National) Antibiotic Guidelines 1992; and also the cooperation with the Dutch Government and Infectious Disease researchers to study “Antimicrobial Resistance in Indonesia, Prevalence and Prevention – AMRIN Study”, in 2001-2006, in which she was awarded as “The Pioneer in Prudent Use of Antibiotics”, by the Dr. Soetomo Teaching Hospital - Indonesian Ministry of Health, in November 2014. Her publications mainly on the topics of hospital pharmacy management, the pharmacy and therapeutics committee, drug information, cancer pain relieve and palliative care, drug use study, antibiotics use evaluation, and the role of pharmacists in the health care system. Throughout her career, she was active in the Association of Indonesian Hospital Pharmacists (HISFARSI), and the Association of Indonesian Pharmacists (IAI), as well as member of The American Society of Health-System Pharmacist (ASHP), and Society of Hospital Pharmacist of Australia (SHPA). In November 2010 - March 2015 she joined the School of Pharmacy, Management & Science University (MSU) in Shah Alam, Selangor Darul Ehsan, Malaysia, as the Head of Clinical Pharmacy Unit.
Brain Gain adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Erni P Kolopaking

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login