Usulan Penerapan Sistem Baru: Teknik Menganalisa Lapangan Minyak Untuk Meningkatkan Produksi Minyak Bumi Indonesia

18 Jan 2017 18:14 8119 Hits 0 Comments
Teknik baru ini diharapkan dapat dilakukan dengan biaya murah tetapi tetap dapat meningkatkan produksi migas ke tingkat yang diperlukan

ABSTRAK

Dengan semakin meningkatnya kebutuhan minyak dan gas bumi (migas) dan semakin mahalnya biaya produksi migas didalam negeri, pemerintah Indonesia melalui departemen terkait (SKK-Migas) diharapkan dapat berperan aktif dalam mencari cara teknis yang efisien dan dapat diterapkan untuk meningkatkan produksi dan sekaligus menurunkan biaya produksi (dalam bentuk ‘cost-recovery’).

Pada tahun 2016, Indonesia memproduksi minyak bumi sekitar 800 ribu barel per hari yaitu produksi dari lapangan-lapangan Pertamina dan Production Sharing Contract (PSC) lainnya (Gambar-1 dan 2, Journal Petroleum Technology, Nov 2015). Tetapi produksi ini masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, sehingga pemerintah perlu membeli lagi sekitar 500 ribu barel per harinya.

Teknik baru ini diharapkan dapat dilakukan dengan biaya murah tetapi tetap dapat meningkatkan produksi migas ke tingkat yang diperlukan, sehingga dapat mengurangi biaya pemerintah dalam pembelian minyak luar negeri untuk menutupi kekurangan kebutuhan minyak di dalam negeri.

Usulan sistem teknis ini di ‘Komite Pengawas Teknik (KPT)’ dengan efektif dapat mengecek secara detail setiap phase dari model lapangan migas. SKK-Migas sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas produksi minyak di Indonesia harus memiliki tenaga ahli yang diperlukan, seperti: Geologi, Geofisika, Petrofisika, Geomodeler, Reservoir Engineer, Facility Engineer, Drilling Engineer. Dihadapan anggota KPT ini, setiap PSC (termasuk Pertamina) harus mempresentasikan semua lapangan yang akan dikembangkan (Gambar-3).

Kata kunci: Komite Pengawas Teknik, Sistem baru meningkatkan produksi minyak

1. LATAR BELAKANG

Dua hal penting yang selalu dilakukan oleh perusahaan minyak dunia, disektor hulu, adalah melakukan usaha untuk penambahan jumlah cadangan dan penambahan jumlah produksi migas per tahunnya.

Untuk kedua hal tersebut, pemerintah Indonesia melalui lembaga terkaitnya (Pertamina dan/atau SKK-Migas) telah melakukan juga usaha untuk penambahan cadangan migasnya yaitu dengan melakukan aktifitas eksplorasi di block yang masih belum banyak sumur pemboran. Kemudian juga telah melakukan aktifitas eksploitasi dalam usaha peningkatan produksi migas dan juga sebagai upaya menaikkan ‘recovery factor’ dari setiap lapangan migas yang ada dan masih aktif berproduksi. Dalam paper ini, hanya aktifitas eksploitasi saja yang akan dibahas yaitu usaha untuk meningkatkan produksi migas di Indonesia.

Pada tahun 2016, Indonesia memproduksi minyak bumi sekitar 800 ribu barel per hari yaitu produksi dari lapangan-lapangan Pertamina dan Production Sharing Contract (PSC) lainnya (Gambar-1 dan 2, Journal Petroleum Technology, Nov 2015). 

Gambar-1 Produksi minyak negara-negara Organisation of Petroleum Exporting Countries (OPEC) – Nov 2014 s/d Apr 2105

Di Indonesia, usaha peningkatan produksi migas ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan dimana pemerintah masih harus membeli minyak bumi lagi dalam jumlah yang sangat besar yaitu antara 500 - 850 ribu barel per hari (laporan “detik.com” 4 April 2016) dari luar negeri. Misalnya untuk pembelian 500 ribu barel minyak bumi saja, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pembelian ini adalah sekitar USD 50 juta per hari nya (= 500,000 barel x USD 100 per barel = USD $ 50 juta) atau sekitar Rp 500 milyar (= USD 50 juta x Rp 10,000 = Rp 500 Milyar). Dalam setahun, pemerintah Indonesia harus mengeluarkan dana untuk pembelian minyak bumi ini sebesar Rp 182.5 trilliun (= 365 hari x Rp 500 milyar per hari = Rp 182.5 triliun). Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia ini akan jauh lebih besar lagi jika pembelian minyak bumi naik menjadi sekitar 850 ribu barel perharinya. Dalam perhitungan sederhana ini, harga 1 barel minyak bumi yang dibeli dari luar negeri adalah harga rata-rata minyak bumi pada USD$ 100 per barel, dimana harga tertinggi minyak bumi dunia ini pernah mencapai USD115. Dan kurs rata-rata USD ke Rupiah yaitu USD 1 sama dengan Rp 10,000.

Jadi selama 10 – 15 tahun kebelakang, pemerintah atau masyarakat Indonesia harus membayar sekitar Rp 182.5 triliun (dibulatkan menjadi 200 trilun kalau kurs USD lebih dari > Rp 10,000, pembelian minyak bumi > 500 ribu barel per harinya, dan harga minyak > USD 100 per barel) per tahun nya guna membeli minyak bumi dari luar negeri yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan minyak bumi didalam negeri. Suatu jumlah yang sangat fantastis.

Untuk mengurangi jumlah pembelian minyak bumi dari luar negeri tersebut, pemerintah Indonesia harus mencari cara teknis lain agar produksi minyak di Indonesia dapat ditingkatkan lagi hingga ke level produksi yang dibutuhkan per harinya. Sehingga untuk dapat meningkatkan produksi minyak di Indonesia, sistem teknis yang dipakai oleh Pertamina dan SKK-Migas terhadap operator PSC perlu dirubah agar dapat memproduksi minyak bumi lebih besar lagi sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat di Indonesia. 

Gambar-2 Produksi minyak negara-negara Non-OPEC (termasuk Indonesia) – Nov 2014 s/d Apr 2105

Gambar-3 Flowchart permohonan untuk pengembangan suatu lapangan minyak

 

Usulan sistem teknis ini di ‘Komite Pengawas Teknik (KPT)’ dengan efektif dapat mengecek secara detail setiap tahapan dari model pengembangan lapangan migas. SKK-Migas sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas produksi minyak di Indonesia harus memiliki tenaga ahli yang diperlukan, seperti: Geologi, Geofisika, Petrofisika, Geomodeler, Reservoir Engineer, Facility Engineer, Drilling Engineer. Dihadapan anggota KPT ini, setiap PSC (termasuk Pertamina) harus mempresentasikan semua lapangan yang akan dikembangkan (Gambar-3).

Sistem teknis baru yang di usulkan ini yaitu dengan merubah sedikit sistem yang dipakai sekarang (oleh Pertamina dan/atau SKK-Migas) tetapi hasilnya sangat menjanjikan sehingga banyak diterapkan oleh banyak perusahaan migas besar dunia (Gambar-4 dan 5).  Sebagai proyek uji coba, dapat diterapkan didalam lingkungan SKK-Migas sendiri selama setahun mendatang yaitu pembuatan model statik dan dinamik. Usulan sistem teknis ini disarankan untuk dapat diterapkan atau dipakai sebagai garis pedoman pembuatan model oleh seluruh (operator PSC) perusahaan migas di Indonesia. Garis pedoman model ini dapat ditaruh dan diterangkan secara detil pelaksanaan nya didalam website resmi SKK-Migas dimana setiap operator PSC dapat setiap waktu untuk membukanya dan mempelajari sistem teknis cara pembuatan model statik dan dinamik pada suatu lapangan.

Pemerintah perlu menerapkan sistem teknis baru ini sebagai prioritas utama dalam pembuatan model pengembangan suatu lapangan migas di Indonesia dan dalam usaha peningkatan produksi migas dari suatu lapangan migas yang sedang aktif berproduksi, dengan beberapa alasan sebagai berikut:

  1. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk pembangunan fasilitas infra-struktur karena fasilitas ini sudah tersedia dan sudah dibangun sejak diawal pengembangan lapangan migas aktif ini.
  2. Pada lapangan migas aktif ini sudah terbukti dapat memproduksi minyak bumi selama beberapa tahun sebelumnya sehingga kemungkinan untuk mendapatkan minyak bumi akan jauh lebih besar dibandingkan dengan melakukan aktifitas eksplorasi.
  3. Pada lapangan minyak aktif ini, dapat dilakukan juga evaluasi ulang pada data-data sumur yang ada dan dapat diinterpretasi lagi apakah ada interval-interval yang mengandung potensi minyak bumi tetapi masih terlewatkan atau “by-passed oil intervals”. Sehingga dengan biaya operasi yang cukup murah, operator PSC dapat membuka kembali sumur-sumur yang sudah dianggap mati (idle wells) yaitu dengan hanya menambah lubang perforasi baru pada interval yang terlewatkan tadi dan sumur yang dianggap mati tersebut dapat memproduksi minyak bumi lagi.
  4. Setelah melalui studi detail dan merevisi model statik dan dinamik pada lapangan minyak bumi yang masih aktif berproduksi, operator PSC dapat membuat rencana untuk penambahan sumur ‘infil’ baru dalam usahanya untuk memaksimalkan produksi minyak bumi dan meningkatkan ‘recovery factor’ secara lebih effisien dari lapangan minyak bumi tersebut. Selain minyak bumi dapat diproduksi dari target utama batuan reservoir (dari pemboran sumur ‘infill’ baru ini) ada juga tambahan produksi minyak bumi yang datang dari penambahan lubang perforasi dari interval yang terlewatkan.

Dalam kegiatan eksploitasi pada lapangan minyak bumi yang masih aktif berproduksi, merevisi model statik dan dinamik adalah hal yang sangat penting dilakukan apalagi dengan adanya tambahan data baru dari sumur-sumur ‘infil’ yang baru selesai di bor (Gambar-6). Dari model statik dan dinamik yang sudah dipelajari atau direvisi lagi, operator PSC akan dapat memperkirakan jumlah cadangan minyak bumi yang masih tersisa dibawah tanah dan berapa jumlah minyak bumi yang bisa diproduksi lagi lebih akurat (Gambar-7 dan 8). Dari revisi model-model ini, operator PSC kemudian dapat m embuat rencana untuk penambahan jumlah sumur produksi minyak bumi baru (yaitu sebagai sumur ‘infill’ yang perlu di bor) setelah melakukan perhitungan nilai ekonomisnya yang positif dari segi biaya investasi dan keuntungan keuangan yang didapat, selain untuk memenuhi produksi minyak bumi per harinya seperti yang dikehendaki oleh pemerintah Indonesia.

Gambar-4 Dua cara pembuatan model dinamik dengan memakai data produksi (minyak, gas, dan air)

Gambar-5 Flowchart siklus pengerjaan peningkatan model statik dan dinamik pada suatu lapangan minyak

Sebagai gambaran, rata-rata ‘recovery factor’ produksi minyak, untuk 222 lapangan minyak Pertamina yang tersebar di seluruh Indonesia, adalah 20% (laporan dari IHS Consultant, July 2014). Kemudian, rata-rata jumlah cadangan minyak dari lapangan-lapangan tersebut adalah sekitar 150 juta barel per lapangan. Sehingga dengan menghitung dengan mempergunakan ‘recovery factor’ 20%, maka total produksi minyak yang dapat diproduksi ke permukaan bumi adalah sekitar 30 juta barel saja per lapangan. Sementara sisa minyak bumi yang masih sekitar 120 juta barel per lapangan, yang tetap berada di bawah permukaan bumi dan menunggu untuk dapat diproduksi ke atas permukaan bumi dengan sistem teknis lainnya.

Untuk seluruh Lapangan-lapangan tersebut, perhitungan jumlah cadangan minyak yang masih tersisa dan belum dapat diproduksi adalah sekitar 27 milyar barel (dihitung dari 222 lapangan x 120 juta barel per lapangan = 27 milyar barel). Jumlah minyak ini adalah sangat fantastis dan merupakan sebagian saja dari jumlah total cadangan minyak bumi di Indonesia karena masih belum memasukkan jumlah cadangan minyak bumi dari operator PSC lainnya seperti: Chevron (dahulu Caltex dan Unocal), ExxonMobil, Total, Vico, CNOOC, dan lain-lainnya.

Seandainya kita mampu menaikkan ‘recovery factor’ dengan 25% lagi seperti yang telah dicapai oleh beberapa perusahaan minyak lainnya (seperti ExxonMobil, Shell, Petronas), masyarakat Indonesia dapat menikmati tambahan produksi minyak bumi sebesar 6,75 milyar barel lagi (= 25 % x 27 milyar barel = 6,75 milyar barel) dari lapangan-lapangan ini.

Dan seandainya Indonesia dapat meningkatkan memproduksi minyak buminya hingga 1,3 juta barel per hari dari lapangan-lapangan ini (jumlah kebutuhan minyak bumi per hari di Indonesia saat ini) dan umpamanya dimulai pada akhir tahun 2016, maka rakyat Indonesia akan dapat menikmati produksi minyak di level ini untuk waktu sekitar 14 tahun kedepan (= 1,3 juta barel x 14,23 tahun x 365 hari = 6,75 milyar barel), atau diperkirakan sampai akhir tahun 2030 atau awal tahun 2031.

Sehingga pemerintah Indonesia dapat mempergunakan uang pembelian minyak bumi ini yang berjumlah sekitar Rp 2,555 triliun (14 tahun x Rp 182,5 triliun/tahun = Rp 2,555 triliun) untuk keperluan pembangunan lainnya.

Dimulai sejak 5-10 tahun yang lalu, sistem teknis baru yang diusulkan ini telah dicoba dan diterapkan oleh beberapa perusahaan migas besar, seperti: ExxonMobil, Shell, Chevron, BP, Petronas, dalam usaha mereka untuk menaikkan ‘recovery factor’ dan juga meningkatkan produksi minyak bumi pada setiap lapangannya dengan biaya operasi yang jauh lebih murah.

Dengan target ‘recovery factor’pada angka 45% untuk setiap lapangan minyak, atau 25% lebih tinggi dari angka rata-rata ‘recovery factor’di lapangan minyak Pertamina di Indonesia, beberapa perusahaan migas besar perlu melakukan evaluasi ulang pada model statik dan dinamiknya agar dapat dengan baik dan akurat merencanakan penambahan sumur-sumur produksi baru melalui program sumur ‘infill’ Improved Oil Recovery (IOR) sebagai usaha peningkatan produksi dengan teknik ‘recovery’ kedua (secondary recovery).

Sumur-sumur baru ‘infill’ ini diperlukan agar dapat memproduksi minyak bumi dari lapangan minyak tersebut yang masih mengandung banyak minyak bumi. Dibagian ini, minyak bumi biasanya tidak dapat diproduksi oleh sumur-sumur yang ada karena batasan kemampuan tekanan reservoir yang ada pada sumur-sumur produksi yang tidak cukup kiuat untuk mengisap minyak bumi dari tempat yang cukup jauh lokasinya dari sumur produksi. Sehingga rencana untuk penambahan sumur ‘infill’ sangat diperlukan dan rencana recovery kedua ini dapat dilaksanakan dengan penambahan sumur produksi ataupun sumur injeksi baru.

Selain untuk membuat rencana penambahan sumur ‘infill’, revisi model statik dan dinamik dapat juga dipergunakan untuk usaha peningkatan produksi minyak bumi lanjutan yaitu dengan aktifitas Enhanced Oil Recovery (EOR) atau teknik recovery ketiga (third recovery) pada masa yang akan datang dengan menginjeksi bahan-bahan kimia (seperti alkalin, surfactant, polimer, CO2) kedalam batuan reservoir sehingga ‘recovery factor’diharapkan dapat dinaikkan dinaikkan hingga 10% lagi, dan ‘recovery factor’ total pada suatu lapangan dapat ditingkatkan menjadi 55%. 

Gambar-6 Flowchart 3-D Integrated Reservoir Model.

Usulan Penerapan Sistem Baru: Teknik Menganalisa Lapangan Minyak Untuk Meningkatkan Produksi Minyak Bumi IndonesiaGambar-7 Flowchart pembuatan model statik dan dinamik

Di beberapa lapangan minyak bahkan ada teknik recovery kedua (IOR) yang dapat mencapai 65%. Sehingga ditambah dengan teknik recovery ketiga yang 10% tersebut, recovery total pada lapangan minyak tersebut dapat mencapai 75%.

Perhitungan diatas itu hanya didasarkan pada jumlah cadangan dari lapangan-lapangan minyak bumi aktif Pertamina, di seluruh Indonesia. Dan jumlah cadangan minyak ini akan bertambah besar jika aktifitas exksplorasi (yang dilakukan oleh Pertamina dan operator PSC lainnya) dapat menemukan lagi cadangan (minyak bumi) baru di Indonesia.

Aktifitas eksplorasi dan eksploitasi ini menjadi semakin penting bagi perusahaan migas baik yang berada di Indonesia maupun di dunia untuk terus menaikkan (minimal mempertahankan) jumlah cadangan dan produksi minyak buminya setiap tahunnya dikarenakan kebutuhan akan minyak bumi akan terus meningkat dari tahun ke tahun, termasuk kebutuhan akan minyak bumi di Indonesia. 

Gambar-8 Skema ketidaktentuan pada model 3D statik dan dinamik --- GRV (Gros volume batuan), HCIP (Perhitungan cadangan awal hidrokarbon), dan Reserve (Perhitungan hidrokarbon yang dapat diproduksi).

Tags

About The Author

Budi Priyatna Kantaatmadja 17
Pensil

Budi Priyatna Kantaatmadja

Dr. Ir. Budi Priyatna Kantaatmadja MSc. Saat bekerja sebagai “Custodian Petrofisika” pada Divisi “Project Delivery and Technology” (PD&T Division), PETRONAS, dan beralamat di Tower-3, Lantai 16, KLCC, 50088 Kuala Lumpur, Malaysia. Mempunyai pengalaman lebih dari 30 tahun bekerja pada sektor migas dan mempelajari banyak evaluasi batuan reservoir sebagai usaha peningkatan produksi migas dengan memperbaiki statik dan dinamik model pada lapangan2 migas di Dunia. Gelar sarjana penuhnya dibidang geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Indonesia. Kemudian, mendapatkan gelar Masternya untuk bidang geologi pada tahun 1987 and gelar PhD nya untuk bidang geologi dan petroleum engineer di tahun 1990 dari Texas A & M University, USA. Tahun 2004 sampai dengan 1990, bekerja sebagai junior gologi di H&L Exploration Co. di Texas, USA sambil meneruskan pelajaran untuk program master dan PhD nya. Dari tahun 1991 sampai dengan 2007, bekerja di Mobil Oil Indonesia, Jakarta Corp. (kemudian berubah nama menjadi ExxonMobil Indonesia Corp. pada tahun 1989) sebagai petrofisika, reservoir geologi, well-site coordinator yang bertanggung jawab untuk operasi/pemboran dalam bidang gescience / petrofisika, bertanggung-jawab juga untuk pembuatan logging kontrak (mud-log, wireline logs), serta pembuatan statik model di beberapa lapangan migas di Indonesia. Berkesempatan bekerja di kantor pusat ExxonMobil di Houston dan kantor lainnya di dunia sehingga mendapat pengalaman dalam mengevaluasi batuan reservoir dengan baik menggunakan integrasi data-data sumur yang ada seperti open-hole, cased-hole logs, mud-logs, cores, pressure data, fluid data, production data untuk lapangan-lapangan migas di North America (USA, GOM, Canada), South America (Mexico, Venezuela, Brazil), South-West Africa (Nigeria, Angola), and Middle East areas (Qatar, Lybia, Iraq). Tahun 2007 sampai dengan sekarang, berkerja di PETRONAS, di divisi MPM (Malaysian Petroleum Management, yaitu bagian yang memberikan ijin untuk pengembangan suatu lapangan migas di Malaysia yang sama fungsinya seperti SKK-Migas). Merupakan anggota aktif dari organisasi teknik migas dunia seperti AAPG, SPWLA, SPE, EAGE, dan juga aktif di organisasi teknik migas di Malaysia seperti menjadi Vice President dari FESM (Formation Evaluation Society of Malaysia) yang anggotanya adalah petrofisika, geologi, dan reservoir engineers yang berkerja di perusahaan migas, kontraktor migas, perusahaan servis, dan universitas di seluruh Malaysia.
Brain Gain adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Budi Priyatna Kantaatmadja

Comments

You need to be logged in to be able to post a comment. Click here to login